Rere sedang terduduk di kursi malas
sambil membaca-baca tabloid gossip seputar selebritis. Nana Mirdad sekarang
sedang hamil tua. Kok secepat itu ya? Apakah memang dia betul-betul MBA (married by accident) seperti yang orang-orang
gosipin?. Rere terus membalik-balikkan lembaran demi lembaran tabloid ketika
seseorang membuka pintu, dilihatnya Ben menghambur masuk ke kamarnya. Sosok
laki-laki tampan, tinggi dan putih tetapi sangat di Benci Rere, kenapa ada
disini? Kenapa dia bisa masuk ke kamarnya sementara mama-papanya saja harus
mengetuk dahulu dan meminta ijinnya sebelum masuk ke kamarnya.
“Hallo sayang…” Ben menyapanya sambil
mengecup keningnya. “Kamu dah makan belum?” Seolah tanpa salah, Rere mengelak
kecupan di keningnya itu.
“Ngapain Lo ke sini?!… Ngapain Lo ke
kamar gue!!… PERGI LO!!! KELUAR DARI KAMAR GUE!!!… PERGIIIIIIIII!!!” Teriak
Rere kasar. Dia masih ingat ketika Ben dan ketiga kawannya memperkosanya
beramai-ramai di sekolah.
“Kamu ngomong apa sih sayang???? Ini
kan kamar kita berdua, jadi ini kamar aku juga” Jawab Ben kelihatan khawatir
dengan sikap Rere.
“JANGAN MIMPI LO!!!! PERGI LO SANA!!
KELUAR DARI KAMAR GUE!!” teriak Rere histeris.
“Kamu kenapa sih Re?? Ini aku Ben…
Suami kamu… Kamu kenapa? Kamu demam ya?“ Ben berusaha meraba kening Rere,
tetapi Rere dengan cepat mengelak.
“APA?! SUAMI?! CUIH! MANA BISA LO
JADI SUAMI GUE!!! SAMPE MATI GUE GAK MAU JADI ISTRI LO!! JANGAN MIMPI LO!!”
masih dengan nada tinggi, Rere seakan mendengar suaranya melengking saking
marahnya.
“Re, kamu ngomong apa? Jangan gitu!!
Ingat kamu lagi hamil tua… itu anak kita… anak aku, suami kamu…“ Ben berusaha
menjelaskan dan menenangkan Rere. Tetapi setelah mendengar perkataan Ben, Rere
bukannya tenang melainkan bingung. Suami? Hamil? Anak?? Spontan dia melihat ke
bawah. Dilihatnya gelembung besar di daerah perutnya. Rere meraba perutnya.
Memang dia sedang hamil. Hamil besar. Apakah ini hasil dari pemerkosaan waktu
itu? Dia tidak mau anak ini. Lalu dengan keras dia memukul perutnya, mencoba
membunuh mahluk hidup yang ada di dalamnya. Rere kesakitan. Sakit tepat ketika
dia memukul perutnya. Sekejap kemudian dia terbangun dari kursi malasnya.
Alih-alih kursi malas, ternyata Rere
masih tergeletak di suatu ruangan. Rupanya dia tadi bermimpi. Dilihat sekelilingnya
gelap gulita, didapati dirinya masih telanjang bulat. Perutnya sakit akibat
pukulan tanpa sadar di mimpinya sendiri. Tubuhnya basah bermandikan keringat.
Rere berusaha memfokuskan pandangannya yang buram. Dia meraba sesuatu di
sebelahnya. Dilihatnya samar-samar, itu Albie. Rere terkejut ketika melihat
Albie pun tertidur telanjang bulat seperti dirinya. Rere melihat sekelilingnya.
Sepertinya dia kenal ruangan ini. Rere bangkit berdiri. Tetapi tiba-tiba
kakinya sakit luar biasa. Sekujur tubuhnya sakit. Selangkangannya terasa perih
dan panas.
Akhirnya Rere ingat. Dia masih
diruangan BP sekolahnya. Kembali dia tersadar atas apa yang baru saja
menimpanya. Tertatih-tatih Rere berjalan sambil mencoba meraba ke tembok-tembok
berusaha meraih electricity outlet untuk menghidupkan lampu atau mencari
penerangan. Ditemukan electricity outlet dan dihidupkan lampu. Ketika ruangan
sudah terang, dilihatnya ruangan itu, masih segar dalam ingatannya ketika Albie
merenggut keperawanannya di sofa sana , juga ketika Ben, Dave, Sam dan Zack
yang menyetubuhinya beramai-ramai. Dan Rere juga teringat karena merekalah dia
jatuh pingsan. Dilihatnya jam yang ada di tangannya. “Jam 9 malam…” katanya
dalam hati. Pasti mama sudah mencari-carinya. Mungkin sudah menelepon ke HPnya untuk
menyuruh pulang.
Rere tidak ingat dimana tasnya,
dimana semua barang-barang bawaannya. “dingin…” Rere berseru pelan kepada
dirinya sendiri. Rere berusaha mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya yang
telanjang. Tetapi setelah dia sadar bahwa tidak ada sehelai Benang pun untuk
menutupi keterlanjangannya, Rere pun merosot terduduk. Jongkok sambil memeluk
kakinya. Membenamkan wajahnya di kedua lututnya yang masih sakit, terisak-isak
menangis.
Rere tak tahu sudah berapa lama dia
tersedu-sedu ketika didengarnya disudut ruangan Albie mengerang pelan. Rupanya
Albie sudah sadarkan diri. Rere melihat Albie memegangi kepalanya yang beberapa
jam lalu dihantam keras oleh Sam sampai dia jatuh pingsan. Beberapa saat
kemudian Albie pun menyadari sesenggukan Rere di tempat Rere membenamkan
wajahnya di kedua lututnya. Albie bangkit berdiri dan menghampiri Rere.
“Re… kamu masih disini? Aku pikir
kamu udah dibawa mereka… Kamu gak apa-apa kan?” Albie membelai rambut Rere yang
sudah awut-awutan itu.
“Apanya yang gak apa-apa Bie??“ seru
Rere sambil menangis. “Kamu udah liat apa yang terjadi!!“
“Sorry Re, aku gak tahu… si bangsat
itu mukul aku dari belakang… Apa yang terjadi Re??“ tanya Albie sambil terus
membelai rambut Rere, berusaha menenangkan suaranya meskipun dia bisa menebak
apa yang akan dijawab Rere.
“AKU DIPERKOSA BIE!!!!“ Rere menepis
tangan Albie dari kepalanya. “ABIS KAMU PINGSAN AKU DIPERKOSA RAME-RAME SAMA
MEREKA!!“ teriak Rere histeris, seolah itu adalah kesalahan Albie. “MEREKA
MENGGILIR AKU BIE!! MEREKA MAKE AKU RAME-RAME… DI SANA! MEREKA BUANG DI DALAM
PERUT AKU BIE!!“ sambil menunjuk sofa tempat perbuatan maksiat itu terjadi.
Albie pun tahu, ketika melihat tempat yang ditunjuk Rere, dilihatnya darah
kering tercetak di cover sofa itu. Albie sadar itu adalah darah perawan Rere
yang sudah diteguknya.
“Ok Re, aku minta maaf… aku terpaksa…
aku dipaksa mereka…“ Albie seolah kehabisan kata-kata, menyadari kesalahan itu
pantas dibebankan kepada dirinya. Bingung harus berbuat apa-apa, Albie pun
memeluk erat Rere yang masih terduduk di lantai.
“Seperti kata-kataku tadi, aku mau
tanggung jawab Re, aku gak akan meninggalkan kamu.. Aku akan terus berada
disisi kamu… Swear! Aku janji… Aku akan terus menyayangi kamu apa adanya…“
“Aku…aku takut Bie… Aku takut…“ Rere
membalas pelukan Albie, dia menggigil hebat. Menggigil kedinginan atau
ketakutan? Albie tidak bisa mengenalinya. Sekejap kemudian Albie beranjak dari
pelukan Rere, mencoba mencari pakaiannya, tapi tidak ditemukannya.
Rupanya Albie tidak kehilangan akal.
Dia segera menuju meja di dalam ruangan itu. Membuka lacinya dan merogoh-rogoh
mencari sesuatu. Rere melihat Albie mengeluarkan gunting besar dari laci itu.
Lalu Albie berjalan menuju Sofa panjang. Diguntingnya sofa tersebut mencoba
mengambil kulit penutupnya. Setelah itu di gunting menjadi dua. Salah satu dari
kain bahan sofa itu diselimutkan ke Rere, dan yang lainnya dililitkan ke
tubuhnya menutupi setengah bagian bawah tubuh Albie.
“kamu mau ke mana Bie?“ Tanya Rere
ketika dilihatnya Albie memegang daun pintu dan membukanya.
“Aku mau cari sesuatu buat kamu pakai
Re, biar kita pergi dari tempat ini…mungkin di ruang laboratorium ada seragam
workshop…“ jelas Albie.
“laboratorium pasti udah dikunci Bie…
Di mobil ku ada baju serep… tapi aku gak tau kuncinya ada di mana…” Rere
berfikir keras dimana dia meninggalkan tas sekolahnya. Apa masih di dalam
kelas? Tidak mungkin! Tadi ketika dia keluar dari kelas, dia sudah menjinjing
tas sekolahnya. Juga ketika dia ijin kepada Ika untuk ke toilet, dia juga masih
bawa tas sekolahnya itu.
Tiba-tiba Rere ingat, Ben membuang
tas sekolahnya ketika dia berusaha meraih Hpnya.
“Toilet perempuan… Bie, tas aku ada
di toilet anak perempuan…”
“OK Re, aku ambilin. Kamu tunggu di
sini…”
“Enggak Bie, aku takut… aku ikut kamu
aja… aku gak mau ditinggal sendiri…“
Albie pun melilitkan kain bahan sofa
ke tubuh Rere. Ketika Rere mengangkat tubuhnya sendiri untuk mencoba berdiri,
Albie melihat buah dada Rere yang ranum dan putih menggantung indah. Dan ketika
Rere berusaha berdiri dan tertatih menahan berat tubuhnya dengan satu kakinya
yang masih sehat, buah dada itu bergoyang-goyang dengan indahnya, membuat darah
Albie berdesir, berputar di otaknya turun ke bawah menghantarkan darah hangat
ke selangkangannya. Albie berusaha untuk tetap berkonsentrasi menguatkan akal
sehatnya. Tetapi ketika Rere berdiri, dia juga melihat kemaluan Rere yang
terpampang dengan bulu-bulu halus dipermukaan kulitnya membuatnya tidak bisa
menahan ereksinya.
“Ayo Re, aku bantuin jalan…“ tawar
Albie mengalihkan perhatiannya.
Mereka berjalan dalam kegelapan
gedung sekolah menuju ke lantai dua tempat toilet perempuan dimana Rere
meninggalkan tas sekolahnya. Pikiran Albie terus melayang kepada pandangannya
beberapa menit lalu. Tubuh telanjang Rere yang indah terus menari-nari didalam
pikirannya sementara dia membopong Rere menaiki tangga. Tiba di toilet
perempuan mereka langsung mendapatkan tas sekolah Rere yang tergeletak
berantakan di ujung sudut pojok koridor. Langsung saja Rere meraih tasnya
sendiri dan mereka bergegas ke pelataran parkiran sekolah.
Rere langsung membuka kunci mobilnya
dan berjalan untuk membuka pintu belakang. Albie membantunya masuk ke back seat
mobil. Memang menurut Albie Honda Jazz Rere seperti ’mobilku, rumahku’ dimana
bangku belakangnya sangat berantakan. Baju Rere berserakan dimana-mana, tetapi
anehnya hal itu tidak di anggap ’messy’ oleh Albie. Malah, ada perasaan aneh
terlintas dipikiran Albie. Celana pendek, baju you can see, tanktop bahkan Bra
Rere pun tergeletak sembarangan di bangku belakang. Boneka bantal Winnie The
Pooh besar menghiasi bangku belakangnya. Hal ini membuat Albie merasa seperti
berada di ’kamar’ Rere. Sekejap saja, hal ini membuat darah Albie kembali
berdesir apalagi melihat kekasihnya setengah telanjang terbaring lemah tak
berdaya dengan bercucuran keringat dan sedikit bekas darah di pinggir bibirnya.
Albie mengambil tissue yang terletak
di dashboard mobil dan air mineral di botol yang ada di bangku depan. Di
basahkannya tissue itu dengan air sebelum Albie membasuh wajah Rere.
“Aku bersihin dulu Re, baru kamu pake
bajunya… biar seger dikit…“ Albie mengelap wajah Rere, membersihkan sisa darah
yang mengering, kening dan lehernya pun di basuh. Tetapi ketika Albie membasuh
leher Rere yang jenjang, putih dan mulus itu, dia tidak bisa menahan untuk
tidak mengecupnya. Tanpa sadar Albie mendekatkan bibirnya ke leher Rere,
memberikan kecupan lembut di sana. Rere sedikit terkejut. Refleks Rere mengelak
dan mencoba menghindar. Hal ini membuat lilitan bahan sofa yang ada di tubuhnya
mengendur dan terbuka.
Waktu seperti terhenti, kurang lebih
semenit mereka hanya berpandangan. Dengan dada yang terbuka, Albie bisa melihat
dengan jelas tanpa gangguan keempat orang beberapa saat lalu bahwa buah dada Rere
sungguhlah indah dan ranum. Bra ukuran 34 B yang beberapa jam yang lalu
menopangnya, sekarang tidak tahu ada di mana. Kencang dan sangat merangsang.
Menantang orang yang melihatnya untuk menjamahnya atau paling sedikit
menyentuhnya. Albie ingin sekali menyentuhnya lagi, menciuminya lagi. Hasratnya
menunjukkan untuk mendekatkan wajahnya ke buah dada Rere, tetapi hatinya
mengatakan bahwa Albie seharusnya memulai dari atas dulu.
Perlahan tetapi pasti Albie
mendekatkan wajahnya ke wajah Rere, memiringkan mukanya sedikit ke kanan dan
entah perasaannya atau bukan, dilihatnya Rere juga memiringkan wajahnya ke arah
sebaliknya mendekatkan wajahnya ke wajah Albie.
Bibir mereka bertemu, saling melumat
satu sama lain. Sekarang Rere membuka bibirnya, Albie tidak menyia-nyiakan
kesempatan. Dengan lembut dia menyapu dinding-dinding rongga mulut Rere dengan
lidahnya. Mecoba melilitkan lidahnya dengan lidah Rere.
Di lain pihak, Rere merasa ciuman ini
adalah ciuman rasa terima kasihnya ke Albie karena sudah menolongnya. Rere
berpikir sekarang dia sudah aman dan bisa pulang. Atau memang dia menginginkan
ciuman itu? Tetapi Rere Benar-Benar sadar ketika dia mengalungkan lengannya
melingkar di leher Albie. Menikmati pagutan mesra di bibirnya. Albie pun
sekarang memulai mengaktifkan tangannya. Di peluk mesra gadis di depannya itu.
Dibukanya lilitan bahan sofa dari tubuh Rere yang membuat Rere sekarang kembali
telanjang bulat. Tanpa melihat dan sambil berciuman, Albie meremas kedua buah
dada Rere. Dia semakin bersemangat dan terangsang ketika didengarnya Rere
mendesah pelan dan bernafas berat di wajahnya.
Ciuman berpindah dari bibir turun ke
leher. Albie merasa tanpa perlawanan Rere yang berarti menjelaskan bahwa Rere
pun menikmatinya. Kembali Albie mencoba turun lebih ke bawah lagi. Kali ini
remasan di dada Rere berubah menjadi jilatan dan gigitan kecil yang merangsang
Rere menjadi tinggi. Rere memejamkan matanya. Tangannya meremas rambut Albie
yang ada di dadanya. Merasa puas menggumuli buah dada Rere, dengan hati-hati
Albie merebahkan Rere di bangku. Winnie The pooh sekarang berubah menjadi
bantal, menahan baringan tubuh Rere di atasnya. Albie turun lebih ke bawah lagi
menuju selangkangan Rere. Menjilat dan menekan-nekan tonjolan kecil di sana.
Rere terkejut hebat dan menggelinjang tetapi di saat yang sama dia merasakan
sensasi yang luar biasa di tubuhnya. “Aaacchhhhh… Bie…“ racau Rere terangsang
berat. Cairan Bening kental mulai keluar dari lubang kemaluan Rere. Albie terus
menjalankan jurusnya di selangkangan Rere. Jilatan di segitiga Rere sekarang
berubah menjadi hisapan kecil. Masing-masing hisapan Albie di kemaluannya
membuat Rere tak bisa menahan rangsangan yang bergejolak di tubuhnya.
“Aaaaccchhhhhhhhhhh… Bie… masukin
Bie… Aku udah gak tahan…“ Rere heran mendengar dirinya berkata seperti itu.
Tetapi itu bukan dirinya yang bicara. Tetapi perasaan hawa nafsu di luar
kendali Rere. Albie pun mengambil posisi. Seakan lupa dengan luka di sekujur
tubuhnya dan sakit di perutnya, Rere membuka kakinya memberikan posisi mudah
Albie untuk berpenetrasi di dalam rongga kewanitaannya.
Peluh keringat menetes di dada Rere
ketika jatuh dari dahi Albie saat dia berusaha menaikinya. Kembali mereka
berciuman mesra sambil berpelukan seolah badan mereka serasa ingin menyatu.
Albie menuntun batang kemaluannya di mulut kemaluan kekasihnya. Menusuk
pelan-pelan agar sensasi yang didapatkannya dapat dinikmatinya. Jepitan demi
jepitan di setiap inci batangnya sungguh terasa luar biasa. Permainan kali ini
betul-betul lepas buat Albie. Respons luar biasa dari Rere pun membuatnya
terangsang lebih tinggi.
Habis tertelan kemaluan Rere, Albie
mulai menggenjotnya naik turun. Seperti tanpa lelah, ritme kali ini betul-betul
teratur. Perlahan tapi pasti, dorongan-dorongan dikemaluan Rere semakin cepat
dan sensasional. Rere hampir menggigit bibir Albie yang menempel di bibirnya.
Pelukannya semakin kencang seakan tak mau menyudahi kejadian ini. Tak lama
kemudian Rere merasakan otot pada batang yang ada di dalam kemaluannya semakin
kencang dan berdenyut keras. Tak berapa lama kemudian, Albie menyemprotkan
spermanya, dia berejakulasi di dalam kemaluan Rere. Sengaja tertanam lebih
dalam, Albie membiarkan batangnya tertelan beberapa saat sampai batang itu
mengecil dengan sendirinya. Menyudahi dengan mengecup kening Rere, Albie
mencabut kemaluannya di ikuti aliran spermanya yang mengalir keluar dari
kewanitaan Rere.
“Re…” Albie tak tahu harus bicara
apa, “Makasih ya…”
Rere pun hanya diam saja. Bahkan
ketika dia memakai celana pendek dan memungut baju ’serep’ dari jok mobilnya, dia
diam seribu bahasa saat memakainya. Albie tidak tahu harus berbuat apa
sekarang. Tetapi dengan mantap dia kembali melilitkan bahan sofa yang tadi
terlepas ke bagian bawah tubuhnya.
“Kamu tunggu sini ya… Aku mau cari
kunci gerbang dulu. Mungkin aku bisa cari di tempat pak somad…“ Kembali Rere
diam seribu bahasa, tetapi dia menganggukan kepalanya tanda setuju.
Albie pun keluar dan berlari kecil
menuju belakang sekolah. Rere terus melihatnya sampai Albie menghilang tertelan
gelapnya gedung sekolah.
Tidak sampai 10 menit berlalu Albie
kembali dengan mimik lega. Sepertinya dia berhasil menemukan kunci yang
dimaksud. Tidak langsung menghampiri Rere, Albie menuju gerbang sekolah,
membiarkannya terbuka lebar dan menghampiri Rere.
“Ayo kita ke pergi dari sini…” Katanya
sambil membopong Rere pindah ke bangku depan mobil. Rere pun mengangguk kuat
seakan kata-kata itulah yang ditunggunya sejak bel pulang sekolah berbunyi..
Albie menstater mobil dan meluncurkannya keluar dari pelataran sekolah menuju
keramaian di luar sana.
“Kita ke dokter dulu ya Re… kamu
harus periksa luka kamu…“Albie menyarankan. “Apanya yang sakit?” tanya Albie
kembali.
“Tadi perut
aku sakit banget, but it’s ok now tapi My leg is killing me right now…
gak tau, mungkin patah atau apa… hidung aku juga gak jelas patah ato enggak…”
jawab Rere. Hal ini melegakan Albie. Menandakan dengan menjawab itu berarti
Rere sudah tenang dan tidak marah kepadanya.
“Kok kamu bisa datang ke sini??“
Tanya Rere tiba-tiba ditengah-tengah perjalanan mereka.
“Aku emang belum niat pulang… suntuk
banget abisnya. Tadi pulang sekolah aku sengaja tunggu kamu di kios samping
sekolah. Aku masih liat mobil kamu di parkiran… jadi aku tungguin aja sambil
ngobrol sama si Gondrong yang jaga kios…“
“Trus, kok bisa masuk ke dalam kan ke
kunci…?“ selidik Rere tiba-tiba.
“aku manjat tembok…Aku emang niat
belum pulang dulu sebelum liat kamu pulang trus selamat sampe rumah. Aku pikir
kamu ada tugas penting di sekolah sampe lama belum pulang. Kirain juga kamu
lagi ngerjain apa di Lab biologi ato di lab komputer gitu…“ “Sampe aku denger
ada yang gedor-gedor gerbang trus denger kamu teriak minta tolong…“ “si
Gondrong bilang itu cuma halusinasi aku aja karena aku kelewat khawatir and
tergila-gila ama kamu…“ jadi aku ngecek sendiri ke sekolah, aku liat kamu udah
mulai di tindihin sama si bangsat itu… jadi otak udah gak mikir panjang
langsung aku manjat tembok…“ Gerutu Albie ketika mengingat bagaimana gadis
impiannya di perlakukan oleh Ben dan teman-temannya.
Rere sendiri tidak tahu harus berbuat
apa. Dia sungguh takjub mendengar bahwa Albie setiap hari selalu memastikannya
selamat sampai rumah sebelum dia sendiri pulang ke rumahnya. Entah apa yang akan
terjadi kalau Ben tidak datang pada saat itu. Mengulur waktu sebelum Ben dan
kawan-kawan memperoksanya? Toh akhirnya dia juga diperoksa beramai-ramai.
Tetapi setidaknya dia memberikan sesuatu yang berharga miliknya kepada orang
yang disayanginya. Dan perasaan lega ketika dia mengetahui bahwa bukan Albie
yang menjebaknya. Tetapi siapa? Ika? Tetapi kenapa Ika bisa setega itu? Salah
apa dia sama Ika?
Sesaat dia memikirkan bagaimana
persahabatannya dengan Lola. Mungkin sekarang saatnya dia mengesampingkan persahabatan
dan mulai mengutamakan perasaan hatinya. Mungkinkah?
Rere dijebak temannya Ika sehingga dia perkosa oleh empat pemuda
berseragam putih abu-abu (tidak tahu dari sekolah mana) Ben, Zack, Sam dan
Dave. Dengan segala perlawanannya, Rere berusaha untuk menyelamatkan diri
sehingga menyebabkan beberapa luka di sekujur tubuhnya.
Albie laki-laki yang disukainya
ternyata juga disukai sahabatnya. Datang menolong pada saat Rere betul-betul
tidak berkutik lagi. Tetapi akhirnya pemerkosaan terus berlangsung dengan Albie
memetik keperawanan Rere lebih dahulu.
“Pak Somad masih pingsan… tapi aku
pikir besok dia udah sadar…“ kata Albie tiba-tiba membuyarkan lamunan Rere.
“Ooo…“ seru Rere sekenanya, dia jadi
teringat bahwa pak Somad memang tak sadarkan diri ketika dia meminta
pertolongannya.
Honda Jazz Rere meluncur ke kawasan
perumahan di daerah Bintaro. Rere tahu itu adalah jalan menuju rumah Albie.
Tiba di sana Albie memarkirkan mobilnya di depan rumah.
“kamu tunggu sini ya Re, aku ganti
baju dulu“ katanya sambil melirik sepotong bahan yang melilit di pinggangnya.
“Abis itu aku anterin kamu ke dokter…” Rere mengangguk pelan dan Albie pun
langsung keluar dari mobil masuk ke rumahnya. Rere memperhatikan kompleks di
perumahan tersebut memang sangat sunyi. Dia tahu Albie memang tinggal sendiri
di rumahnya, seorang anak tunggal yang ditinggal kerja kedua orangtuanya di
luar kota. Rumah Albie besar, tetapi sedikit tak terurus. Banyak rumput liar
tumbuh lebih panjang di sekitar halaman depan rumahnya. 3 menit kemudian Albie
muncul dari dalam rumah mengenakan pakaian lengkap. Jeans biru dan kaus denim
warna merah ditutupi jacket jeans berwarna cream.
Mereka pun langsung meluncur kembali
ke jalan besar. Albie membelokkan mobil tepat ketika Rere melihat gedung sedang
yang berplang tertulis ’klinik 24 jam’.
“Cuma sedikit memar di pelipis dan
bibir robek sedikit…“ demikian kata dokter jaga yang memeriksa Rere di klinik
tersebut. “Ini tulang kering sepertinya tidak patah, cuma sedikit retak saja…
ringanlah, tapi kamu harus istirahat dan pakai gibs sampai kurang lebih 1
seminggu… gimana? kok bisa jatuh sih? Kecelakaan di mana?“ selidik dokter.
“Cuma jatuh dari tangga aja kok dok,
saya kepeleset abis tangganya licin…“ Rere berbohong kepada dokter, rupanya dia
dan Albie sepakat untuk tidak menceritakan kejadian sebenarnya. Ada nada lega
di setiap kata-kata Rere, mengetahui bahwa dia tidak mengalami patah tulang.
Bagaimana nantinya kalau tulangnya patah nanti…
Setelah menyelesaikan segala sesuatu
di klinik, Albie mengantar Rere pulang ke rumahnya. Rere juga berencana untuk
membohongi orangtuanya dengan cerita yang sama yang diceritakan ke dokter. Dan
Albie pun langsung mengemudikan mobil Rere menuju ke rumah sang pemilik.
*********
Seminggu setelah kejadian yang
menyedihkan itu, Rere akhirnya kembali masuk sekolah. Desas-desus di sekolah
selama Rere istirahat di rumah mengatakan bahwa (dari versi pak Somad) ada
sekawanan pelajar dari sekolah lain yang menyerbu sekolah. Mereka (masih versi
pak Somad) rupanya rival dari sekolah ini, mau menghancurkan sekolah dengan
mengacaukan ruangan sekolah. Merusak apa saja yang mereka lihat dan karena
hanya salah satu ruang kelas saja yang terbuka dan juga ruang BP yang kebetulan
pada saat itu tidak terkunci.
Tidak ada yang mencurigai kenapa Rere
harus istirahat selama seminggu dan datang dengan menggunakan tongkat untuk
membantunya berjalan. Rere pun juga bungkam seribu bahasa. Dia sudah
memperingatkan Albie untuk merahasiakannya juga. Albie bersikeras untuk meminta
Rere melaporkan ke pihak yang berwajib. Tapi entah karena hal apa, Rere lebih
memilih diam. Mungkin dalam pikirannya, jika semua khalayak sekolah mengetahui
kejadian itu, apa tanggapan mereka. Kasihankah? Jijikkah? Support positifkah?
Atau malah melecehkan dia karena sudah di ’pake’ beramai-ramai. Tetapi siapapun
yang menjebaknya tidak pernah menunjukkan tanda-tanda. Ika juga sungguh tidak
tahu mengenai air mineral itu. Dia sendiripun meminumnya dan pingsan di mobil
tepat ketika supirnya mengantarkan pulang. Rere juga mendengar bahwa teman sekelasnya
itu di bawa ke rumah sakit dan dokter memprediksinya hanya kebanyakan minum
obat tidur saja.
Lola masih tidak mau di ajak bicara,
Rere berfikir kenapa dia cepat sekali menghilang. Lola terlihat semakin
menjauhi Rere ketika dilihatnya Albie semakin dekat dengan Rere. Rere sendiri
juga sungguh merana, semenjak kejadian itu dia jadi sangat pendiam. Selalu
murung dan tidak pernah meninggalkan bangku kelasnya selain bel sekolah yang
memulangkan semua siswa. Tetapi sekali-sekali Rere masih menyempatkan diri
untuk meng-sms Lola, mungkin suatu saat dia mau mereplynya. Sepertinya usaha
Rere sia-sia, dia semakin merana. Rere merasa bahwa hari-harinya di sekolah
semakin membosankan saja. Dia merasa sangat kesepian. Kecuali Albie (yang terus
memperhatikannya), Rere merasa tidak punya hiburan sama-sekali. Dia mau Lola
ada di sampingnya, hang out bersama, nonton bersama atau tertawa-tawa bersama
seperti dulu lagi.
Kesepian
Rere semakin menjadi ketika papa dan mamanya harus pergi ke Glasgow, Scotlandia
untuk tugas kantor, “maybe three years, or four… We don’t know… depends on the duty
dear…” papanya menjelaskan. “But, we’re going to pick you up
right on your graduation, sweetheart...” Orang tuanya memang
menyarankan Rere untuk menyelesaikan sekolahnya lebih dahulu di Jakarta . Dan
mereka akan memboyongnya untuk kuliah di sana .
Sebenarnya Rere ingin ikut
papa-mamanya, tetapi memang dia harus menyelesaikan pendidikannya dulu yang
tinggal dua semester lagi. Sudah empat minggu berlalu Rere tinggal sendiri di
rumah hanya di temani pembantunya. Sekarang dia sudah pulih seperti semula,
tidak perlu menggunakan tongkat lagi. Albie pun sering berkunjung kerumahnya
hampir setiap hari. Rere tidak mengerti, sekarang semenjak dia hidup mandiri,
kehidupan seks sepertinya sudah menjadi hal yang biasa saat Albie berkunjung.
Mereka pasti melakukannya jika ada kesempatan. Rere pun tidak kuasa menolaknya.
Sebenarnya Rere juga tidak kuasa menolak kehadiran Albie ke rumahnya. Kadang
dia merasa jenuh padanya. Tetapi sekali lagi, dia memutuskan untuk menjalaninya
pelan-pelan.
*********
Hari ini
cuaca panas sekali. Di dalam kelas pun Rere merasakan udara pengap yang luar
biasa. Dia berharap pelajaran cepat selesai dan segera menuju mobilnya untuk
menghidupkan ACnya dan mungkin alunan coldplay bisa mendamaikannya. Tetapi saat
yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Lagi-lagi Pak Burhan tak
henti-hentinya menerangkan sejarah tentang The Great War (War World One), War World Two dan
prediksinya tentang War World Threesemenjak kejadian 11 September di Twin Towers WTC, US. Rere sungguh bosan luar
biasa. Entah kenapa dia paling Benci pelajaran sejarah walaupun dia tahu suatu
saat pasti ada manfaatnya. “Who cares…” katanya
dalam hati. Bell berbunyi tepat ketika pak Burhan menceritakan tentang kejanggalan-kejanggalan
yang ditemukan para pengamat dan peneliti dunia saat kejadian 11 September
tersebut. Sebenarnya hal ini mungkin bisa dibilang menarik. Tetapi rupanya
bukan hanya Rere yang merasa bosan, teman-teman sekelasnya pun langsung
membenahkan buku-buku mereka dan segera berhambur keluar. “Kita sambung minggu
depan…” teriak pak Burhan agak keras. Memang suaranya kalah keras dengan
kebisingan aktivitas siswa-siswi pasca bell pulang.
Seperti
yang dilamuni Rere, dia segera menuju pelataran parkir sekolah untuk
menghidupkan AC dan menyetel musik di mobilnya. Rere tahu, Albie pasti lagi
main basket bersama teman-temannya. Seakan tak perduli karena panas yang
menyengat, Rere sedikit berlari menuju mobilnya. Dia sedang merogoh tasnya
untuk mencari kunci mobil ketika tiba-tiba mobil Carry hitam berhenti mendadak
di depannya hampir menyerempetnya, menggeser pintunya terbuka dan seorang pria
tak di kenal mencondongkan badannya, mendekap mulut Rere dan menariknya masuk
ke dalam mobil. Rere tidak menyangka hal ini akan terjadi. Kejadiannya begitu
cepat, sampai dia tak sempat untuk berteriak. “Now what…”
gerutunya dalam hati. Sampai di dalam mobil mereka langsung melaju mobil dengan
kecepatan sedang sehingga tidak ada orang yang curiga.
Rere hanya melihat 2 orang ketika dia
terduduk di dalam mobil, satu memegang kemudi dan yang satu lagi duduk di
bangku tengah sebelahnya yang tadi membekap Rere. Dia tidak bisa melihat siapa
yang mengemudi. Tetapi rasanya dia pernah melihat mata yang balik menatapnya
dari kaca di dalam mobil. Rere juga tidak bisa mengenali orang yang duduk di
sebelahnya, dia sungguh besar, dengan kulit coklat dan beberapa brewok yang tak
tercukur rapi. Jantung Rere berdegup kencang.
Rere berusaha kabur tetapi Carry ini
hanya mempunyai satu pintu samping yang di geser dan di jaga oleh orang di
sebelahnya.
“Siapa lo??!! Ngapain lo bawa gue!!!
Buka pintunya!!” Teriak Rere sambil mencoba meraih pintu mobil untuk menariknya
terbuka. Tetapi tubuh lawan di depannya sungguhlah kuat. Dia menghadang dan
membekap Rere yang melawannya.
“Hallo Re…pa kabar…” sapa tiba-tiba
orang di depannya. Rere terkejut melihat sosok yang sekarang menghentikan mobil
dan memalingkan wajahnya ke belakang untuk menyapa Rere. “Ben…” seru Rere dalam
hati. Spontan Rere menjadi pucat, teringat kembali bayangan-bayangan
menyakitkan yang terjadi 2 bulan yang lalu.
“Mau kemana sih? Kok buru-buru
banget??” senyum Ben masih sama seperti dulu. Sinis dan menakutkan. Senyum itu
membuat wajah tampannya menjadi tak berarti sama sekali.
“Ben…” Rere menyerukan nama itu tanpa
sadar.
“Masih inget ya say… aku pikir kamu
udah lupa… Oia, kenalin tuh namanya Tony… aku minta bantuan dia buat ngambil
kamu…” seakan hal ini sudah biasa, Ben mengenalkan temannya yang langsung
tersenyum sinis pada Rere.
“Gue pikir semuanya udah selesai Ben…
Lo mau apa lagi?? Lo udah dapetin semua!!! Kenapa lo ganggu gue lagi!!?“ Teriak
Rere hampir menangis.
“Tadinya emang gitu say… tapi engga
tau kenapa, semenjak kejadian itu aku kebayang-bayang kamu terus…, kok kayaknya
aku jatuh cinta ya…” Rere merasa nada itu seakan melecehkannya. “Sayang ya
papa-mama kamu lagi di luar negeri… kalo enggak kan aku bisa dateng ngapelin
kamu… kali aja bisa ngelamar kamu… he..he..he…” spontan Rere terkejut bukan
main. Dia tahu itu kalimat sindiran. Dari mana Ben tahu kalo orangtuanya memang
sudah pindah keluar negeri.
“Ngomong apa sih lo… Bokap-nyokap gue
ada di rumah. Kalo mereka tau gue gak pulang mereka akan lapor ke polisi. Gue
udah ceritain semuanya sama mereka, kalo ada apa-apa sama gue, gue udah mastiin
ke mereka kalo lo yang ngapa-ngapain gue!!” Rere berbohong. Dia berharap Ben
mempercayai kata-katanya dan melepaskannya sehingga kejadian ini tidak akan
terjadi lagi.
“Aduuuh, kamu gak cocok banget ya
kalo ngebo’ong…” balas Ben. “Aku tau papa-mama kamu udah pindah ke luar negeri.
Aku kan tiap hari ngawasin kamu!! Lagian kalo emang bener cerita kamu. Emang
orangtua kamu tau siapa aku?? Dari mana dia bisa ngelacak aku… say.. kalo mau
bo’ong yang cantik donk…” celetuk Ben dengan nada malas dan kembali menyetir
mobil tanpa memperhatikan reaksi Rere.
Seakan sudah di vonis mati, Rere
terkejut bukan main. Kembali perasaan takut mengisi kepalanya. Spontan dengan
segala upaya dia mendorong tubuhnya ke depan. Meraih kemudi dan membelokkannya
ke kiri, ke tepi jalan berharap mobil ini akan menabrak sesuatu dan orang-orang
sekitar akan menolongnya “Lepasin gue!!!” teriaknya. Tetapi rupanya Ben lebih
tanggap. Dia segera menahan kemudi yang tak kalah kuatnya dengan tarikan Rere.
Tony pun langsung beriisiatif untuk menarik Rere ke belakang dan menahannya.
“Lepasin gue lo bajingan!!! Lepasin
gue!!!!“ Rere meronta dalam dekapan Tony yang kuat. Kakinya menendang-nendang
Ben di depan, tangannya menggedor-gedor kaca berharap kaca itu akan pecah
sehingga dia bisa berteriak minta tolong. Tetapi ketika dia berupaya dengan
sekuat tenaga dari arah depan Rere merasa hidungnya ditutup dengan saputangan.
Seakan dunia tidak berudara. Rere sulit bernafas. Bau obat bius sangat
menyengat langsung mengalir masuk ke otaknya. Membuat dia pusing bukan
kepalang. Rere melihat seakan-akan seluruh isi di dalam mobil berputar-putar di
kepalanya dan tiba-tiba kepalanya berat luar biasa. Tubuhnya lemas tak berdaya,
dan akhirnya Rere jatuh terkulai tak sadarkan diri.
Rere tidak bisa mengingat berapa lama
dia pingsan, tetapi ketika dia tersadar, dia berada di ranjang besar dan empuk
berkerangka besi ukiran yang indah di tata dengan beberapa bantal besar
diselimuti bed cover. Spontan Rere meraba tubuhnya. Lega, pakaiannya masih
lengkap. Sejenak dia memperhatikan ruangan sekitarnya. Sungguh mewah ruangan
ini, dengan home theatre lengkap di sudut ruangan beserta koleksi dvd
bertumpuk-tumpuk di sebelahnya. Dia bangkit turun dari tempat tidur berjalan
mengitari kamar berusaha mencari pintu untuk pergi dari tempat ini. Ada
beberapa pintu di sana. Rere menarik daun pintu dari salah satu pintu itu.
Ketika terbuka, ruangan disebelahnya adalah kamar mandi besar dilengkapi dengan
shower dan bathupnya. Hal ini biasa, yang membuat unik kamar mandi ini
dilengkapi dengan jacuzzi bulat dengan gelembung air menguap dari bawah tak
henti-hentinya. Rere menutup kembali pintu itu. Dia sedang tidak ingin mandi
meskipun dia tergoda untuk mencoba menenggelamkan dirinya di jacuzzi itu, untuk
menghilangkan penatnya.
Kembali dia membuka salah satu pintu
yang lain. Ternyata pintu itu adalah pintu lemari pakaian dan sepatu.
Bertumpuk-tumpuk sepatu tersusun rapi di raknya. Baju-baju, kemeja dan kaos
terlipat dan tergantung rapi di salah satu sudut. Rere menyadari. Semua itu
adalah ukuran dan model untuk laki-laki. Berarti dia ada di kamar laki-laki.
Tetapi kamar siapa? Ben?
Rere menutupnya lagi dan membuka satu
pintu yang tersisa. “Terkunci!!” hatinya melengos. “Di mana ini…” kembali dia
mencoba untuk melihat sekelilingnya. Rere berkomentar kenapa kamar sebagus dan
semewah ini tidak mempunyai jendela satupun. Tiba-tiba dari pintu yang terkunci
terbuka menjeblak mengagetkan Rere yang terbengong takut di dalamnya. Ben muncul
dan masuk ke dalam kamar. Menutup kamar dan menguncinya dari dalam.
“Udah bangun ya say… enak tidurnya??”
Sapa Ben ramah. Rere tidak percaya dengan mimik Ben. Spontan dia mundur
berusaha menjauh dari Ben. Rere melihat Ben hanya mengenakan celana pendek
selutut dengan kaos oblong warna putih dengan sebatang rokok yang menyala dan
asbak di tangan kanan, sementara di tangan kirinya dia menenteng paper bag
besar yang Rere tidak tahu apa isinya. Ben menghampiri Rere, tetapi Rere
lagi-lagi menjauhinya.
“Kamu kok kaya orang jauh aja sih
say… takut?… apa malu? Gak usah malu dong say…kita kan udah kenal luar dalem…”
Ben tersenyum, tetapi entah kenapa Rere tidak merasakan kesan manis di senyum
itu.
“Pergi lo dari gue!!!! PERGI!!!!…
TOLONG…TOLONG…TOLONG…!!” Rere berteriak ke dalam tembok. Berharap suara itu
bisa menembus tembok dan memanggil orang dari luar. Tetapi dengan tenang Ben
menghisap rokoknya, menghembus asapnya dan berjalan menuju tempat tidur,
meletakkan paper bag yang dibawanya tadi di atasnya.
“Percuma say, kamu mau teriak
sekencang apa juga gak bakal ada yang denger… Sekarang kita lagi ada di
villaku, letaknya jauh dari perumahan… tapi jangan kebanyakan teriak… Aku
pusing dengernya…” lagi-lagi Rere merasakan nada dingin yang mengancam di
setiap kata-kata Ben.
“Di dalam paper bag itu ada baju
ganti buat kamu… baru sebagian sih… ntar aku beliin lagi…mulai sekarang kamu
tinggal disini sama aku sampai kita pindah ke tempat lain…” Ben bicara lantang
seraya berjalan ke arah pintu seakan tak peduli dengan tawanannya. Rere tahu
Ben mau keluar dari kamar ini. Dia sendiri heran dengan apa yang akan
dilakukannya. Dia berlari ke arah pintu. Menghadang Ben di depan pintu tepat
ketika Ben akan menarik gagangnya.
“A..aa..Apa maksud lo…? Selamanya?
Disini…? Sama lo??” Rere gugup dan bingung dengan pertanyaannya.
“Denger ya re…” sambil mengapit dagu
Rere dengan punggung telunjuk dan ibu jari tangan kanannya, Ben menengadahkan
wajah Rere ke arahnya dan mendekatkan hidungnya tidak lebih dari seinci dengan
hidung Rere. “Gue selalu ngedapetin apa yang gue mau… kalo gue bilang gue mau
lo… gue pasti ngedapetin lo walaupun dengan cara apapun… mendingan lo mandi
sana ganti baju biar seger… gue males maen sama orang yang loyo…” Rere
merasakan tangan Ben di dagunya dingin sedingin kata-katanya. Tetapi bukan
saatnya buat Rere untuk melempem. Dengan masih menghadang Ben di pintu Rere
berusaha bicara dengan lantang.
“Gue gak takut sama lo Ben…ato
siapapun nama lo!!…Lo lepasin gue sekarang ato gu…” belum sempat Rere
menyelesaikan kata-katanya tiba-tiba ‘PLAK’
Dengan Rokok dan asbak di tangan
kiri, Ben menampar keras Rere dengan tangan kanannya dan langsung mencekik leher
Rere yang jenjang. Spontan Rere tidak bisa apa-apa lagi. Tanpa sadar Rere
memegang tangan Ben dengan kedua tangannya seolah ingin melepaskan cekikan Ben
yang ternyata sangat kuat. Wajahnya yang putih lambat laun menjadi kemerahan.
Matanya berair menahan nafas yang rasanya sudah 1 jam lamanya seiring dengan
cekikan Ben di lehernya.
“Jangan pernah lo ngancem gue… Lo gak
tau siapa gue!!! Mulai sekarang gue yang nentuin apa yang boleh and yang gak
boleh lo lakuin!! Mulai sekarang lo harus nurutin semua perkataan gue… mulai
sekarang nasib lo ada di tangan gue…” sungguh-sungguh Ben berbicara seakan
ingin menunjukkan ke gadis ditangannya bahwa dia tidak main-main. Sambil
mencekik leher Rere, Ben menarik Rere menjauh dari pintu. “mendingan lo mandi
sekarang…” Ben melepaskan cekikannya, spontan Rere langsung terjatuh bersimpuh
di lantai karpet, lepas keseimbangan dan terbatuk-batuk seakan udara yang masuk
ke paru-parunya terasa sesak dan sedikit.
Ben kembali menghisap rokoknya dengan
tenang. “Gue mau pesen makanan… sebentar lagi gue kesini… jangan pernah lo
berani macem-macem…” kembali ucapan Ben dingin seperti es bagi Rere. Akhirnya
Ben membuka pintu dan berjalan keluar. Rere tidak melihat Ben menutup pintunya,
tetapi dia mendengar tanda klik arti pintu kembali terkunci. Tanpa sadar Rere
mengisak, air matanya menetes di kedua pipinya yang putih mulus, dia tidak tahu
apa yang akan terjadi padanya nanti. Bagaimana nasibnya nanti. Apakah Albie
menyadari kalau dirinya sudah pergi ke tempat yang Rere gak tahu ada dimana.
Tas sekolah dan telepon genggamnya juga tidak tahu ada dimana. Sambil berpikir,
Rere berjalan menuju kamar mandi. Mungkin Albie akan menyadarinya kalau dia
melihat mobil Rere masih terparkir di pelataran sekolah. “Ya, pasti Albie
datang menolong lagi…” Rere berusaha menghibur dirinya sendiri.
Rere membuka kran air dan menutup
sumbat di bathup. Dia mengisinya dengan air hangat… membuka pakaiannya dan
meletakkan tubuh telanjangnya ke dalam bathup yang sudah setengah terisi.
“hangat…” katanya dalam hati. Serasa dia lupa sedang berada dimana, dia
menikmati tubuhnya terendam air hangat dan menikmati bath time-nya, Rere
memejamkan mata dan mulai tertidur ketika tiba-tiba ada tangan yang menyentuh
bahunya. Rere terlonjak kaget. Ketika membuka matanya dia melihat Ben sudah ada
di sampingnya
“Kamu seksi deh kalau basah…” senyum
Ben kembali menghiasi wajahnya. Rere benar-benar benci orang yang ada
dihadapannya. Dia mencari handuk, tetapi tidak ditemukan. Dia mencoba mengambil
seragamnya untuk menutup tubuhnya. Tetapi seragam itu tidak ada di lantai
tempat dimana tadi dia meletakannya. Rere berusaha menutup tubuhnya dengan
tangannya meskipun dia tahu tidak akan berhasil. Alhasil, dia hanya menutupi
buah dadanya yang putih kenyal dan sangat menantang itu dengan melipat tangannya
di daerah tersebut sementara kemaluan Rere tak kuasa untuk ditutupi.
Ben dengan santai mencoba untuk
mencium bibir Rere. Tak diduga, Rere mendorong tubuh Ben menjauh dan keluar
dari bathup. Ben pun terjatuh ke lantai kamar mandi yang licin. Dengan
telanjang Rere berlari keluar dari kamar mandi menuju kamar, dia meraih pintu
keluar, tetapi pintu itu terkunci. Rere menelusuri kamar dengan pandangannya
mencoba mencari kunci untuk membuka pintu. Tepat ketika Rere berputar, Ben
sudah ada di hadapannya dan langsung saja kembali Ben menampar keras Rere
hingga Rere terjatuh terjerembab di lantai karpet. Ben memutar tubuh Rere agar
terlentang dan menindihnya. Dia langsung menciumi gadis yang ada di bawahnya
itu dengan nafsu yang tinggi. Rere masih saja berusaha untuk menghindar,
melupakan rasa perih dan panas di pipinya dan berat tubuh lawannya.
“Jangan…please… gak mau… TOLOOOONG!!!
TOLOOOONG…TOLLffmpph…” Ben menghentikan lolongan Rere yang keras dengan
menerkam bibirnya, melumat dengan ganas. Lidahnya berusaha masuk ke dalam mulut
Rere, bermain-main di dinding rongga mulutnya. Tangan Ben yang kuat membekap
kedua tangan Rere ke atas, membuat tubuh Rere terlentang pasrah menantang
lawannya. Sambil menahan tangan Rere, Ben menindih dan mencumbui bibir Rere. Entah
kenapa permainan ini tidak bisa dinikmati Rere seperti waktu yang lalu.
Pikirannya kalut, marah, takut dan bingung menjadi satu. Dia benar-benar
tertekan. Cumbuan Ben sekarang turun ke buah dadanya. Lagi-lagi mulut Rere yang
terbebas kembali berteriak, hal ini membuat Ben senewen. Dengan tidak
melepaskan tindihannya. Kembali Ben menampar Rere.
“Diam!! Ato gue siksa lo
pelan-pelan!!” Ancaman Ben ternyata membuat Rere ciut. Dia pun menjadi diam.
Dia tidak mau disiksa, tetapi juga tidak mau diperkosa. Rere memilih diam
walaupun dalam hatinya sangat memberontak.
Ben pun kembali meneruskan
permainannya. Setelah mengetahui ancamannya berhasil, Ben melepaskan bekapan
tangannya pelan pelan. Rere pun tidak berkutik lagi. Dia hanya diam terlentang
tak bereaksi sama sekali. Matanya menatap ke langit-langit, hampa dan kosong.
Beberapa tetes air mata menetes keluar tanpa reaksi. Sementara mulai membuka
pakaiannya satu persatu, sehingga dengan hitungan detik, Ben sudah berbugil
ria. Dia terus melumat tubuh Rere yang hanya pasrah menerima setiap cumbuannya.
Ben mulai menuruni badan Rere menghadapkan wajahnya di selangkangan Rere. Ben
membuka paha Rere dan membenamkan kepalanra di pangkalnya. Ketika lidah Ben
menjilat klit daging kecil di sana, Rere menggelinjang sedikit. Bukan
rangsangan tetapi perasaan tidak nyaman yang dirasanya.
Rere sama sekali tidak menikmati
pergelutan kali ini. Dia merasa seperti di sangkar burung emas yang
mengurungnya. Ketika dirasakan batang kemaluan Ben mulai menekan liang
sanggamanya. Rere berusaha mendorong tubuh Ben dari atasnya. Tetapi Ben tak
bergeser sedikitpun. Dia semakin bernafsu mendengar Rere mengerang kesakitan.
Tepat ketika dirasakan posisi batang kejantanannya tepat di pintu sanggama
Rere, tanpa peringatan, Ben langsung menusukkannya jauh ke dalam. Rere menjerit
kesakitan. Kemaluannya yang kering tidak siap untuk dimasuki benda apapun
membuatnya sangat menderita. Ben sama sekali tidak memperdulikannya, dia mulai
menggenjot tawanannya. Semakin lama semakin cepat sehingga dorongan-dorongannya
yang kuat membuat badan Rere terdorong maju mundur.
“Enak banget sih say punya kamu…
uuggh…” Ben meracau ditelinga Rere. Kembali air mata rere mengalir tak terasa.
Dia tidak mengisak juga tidak bereaksi sama sekali.
“Aku emang sengaja engga make kamu
waktu itu… biar aku jadi orang yang terakhir yang make kamu sampai selamanya…“
Rere tidak mendengarkan celoteh Ben. Dia sedikit meringis ketika genjotan Ben
semakin dalam dan cepat.
Tiba-tiba Ben mencabut batang
kemaluannya dari kemaluan Rere. Sedetik kemudian dia mengangkat kedua kaki Rere
ke atas sehingga Rere merasakan kedua lututnya tepat menempel kuat di
masing-masing buah dadanya membuat selangkangannya lebih terbuka menantang. Ben
menahan kedua kaki Rere dan mengarahkan batangnya ke selangkangan Rere. Tetapi
bukan kemaluan Rere yang dicoba ditusuknya, melainkan saluran pembuangan
belakang Rere. Rere pun terlonjak kaget ketika dirasakan anusnya diraba oleh
kepala kemaluan Ben. Dia memberontak kuat menolak keras maksud dan tujuan Ben.
“Jangan!!! Jangan di situ…Jangan!!!!
gak mau… jangan!!“ Rere memberontak. Dia menggoyang-goyangkan tubuhnya keras
berusaha memelesetkan kepala kemaluan Ben di lubang duburnya. Tetapi sekali
lagi usahanya sia-sia. Ben mengunci mati tubuh dan kaki Rere tak berkutik. Dia
pun menusukkan kepala batangnya ke lubang belakang Rere. Sedikit demi sedikit
batang itu menerobos masuk ke dalam. Rere menggigit bibirnya sendiri. Serasa
sesuatu merobek tubuhnya. Kali ini dia mengerang keras ketika Ben menggenjot
lubang belakangnya. Ben tahu itu bukan karena kenikmatan, tetapi dia semakin
bersemangat memompa dubur Rere.
“Aku kan gak merawanin depan kamu
waktu itu… Boleh donk aku merawanin belakang kamu…“ Ben berbisik pelan sambil
mencondongkan tubuhnya ke telinga Rere.
Rere sungguh tersiksa dengan anal
seks ini. Sungguh mati dia tidak membayangkan dirinya beranal dengan pria
manapun. Ketegangan dan kesakitan melanda tubuh Rere. Keringatnya sekarang
mengucur menahan sakit bercampur dengan air matanya. 5 menit pergelutan itu
berlangsung. Rere sungguh tidak kuat lagi. Akhirnya Ben mempercepat genjotannya
di dalam dubur Rere. Beberapa detik kemudian Rere merasakan batang yang
tertanam ditubuhnya berdenyut kuat dan tak lama sesudahnya Ben menyemprotkan
cairan spermanya di dalam tubuh Rere.
Ben tidak menunggu batangnya mengecil
terlebih dahulu, dia langsung mencabut kejantanannya dari dalam tubuh Rere.
Dilihatnya spermanya mengalir keluar bercampur cairan sedikit berbusa berwarna
pink. Ben tahu itu adalah darah Rere. Dia sadar telah memerawani anus Rere. Ben
pun tersenyum.
“We’re going to have the greatest days everyday honey…”
katanya sambil mengecup kening Rere. Rere memalingkan mukanya. Dia melingkarkan
tubuhnya dilantai karpet, memeluk lututnya dan mengisak mengucurkan air mata.
Sementara Ben berjalan meninggalkan Rere menuju kamar mandi. Sedetik kemudian
Rere mendengar bunyi gemericik air mengalir dari kamar mandi. Dia tahu Ben
pasti sedang membersihkan badannya. Dia sungguh-sungguh benci orang itu.
Lima menit kemudian Ben keluar dari
kamar mandi. Dia melilitkan handuk kecil di pinggangnya. Rere pun masih
bersimpuh di lantai karpet. Ben menghampiri Rere, berjongkok di sebelahnya
sambil membelai rambut Rere.
“Say… Mending kamu mandi deh…biar
seger… tar lagi makanan dateng…aku tungguin makanan di luar ya… ntar lagi aku
ke sini… “ katanya mesra. Rere sungguh tidak menggubris pesan Ben. Dia terus
melingkarkan tubuhnya di lantai karpet tempat dimana pergelutan terjadi
beberapa menit yang lalu. Ben pun bangkit dengan tak lupa mengecup rambut Rere.
Dia berputar menuju pintu, membuka dan berjalan keluar ruangan. Sekali lagi
Rere mendengar bunyi klik tanda pintu kembali terkunci.
Rere berpikir sampai kapan dia akan
mengalami nasib seperti ini. Dia sekarang putus asa. Sia-sia sudah air matanya
mengalir di pipi, tetapi tidak bisa meluluhkan perasaan Ben yang sekuat baja.
“Mama…” katanya menangis tersedu. Seandainya dia bisa bertemu mamanya sekarang,
mungkin hatinya akan tenang. Tetapi hal itu tidak mungkin. Dia benar-benar
tidak tahu ada di mana sekarang. Menunggu dan menanti apa yang akan terjadi
pada dirinya selanjutnya.
No comments:
Post a Comment