Rere masih duduk termenung di bangku sekolahnya. Rok abu-abunya
terangkat 5 centimeter ketika dia menyilangkan kakinya yang panjang semampai
membentuk betis yang indah, walaupun terbalut kaus kaki putih setinggi lutut.
Bu Santi guru biologinya menerangkan betapa pentingnya sistem metabolisme tubuh
dan memerlukan omega 3 lebih banyak dari omega 6 untuk mendapatkan kesehatan
tubuh yang positif. Tetapi pikiran Rere melayang entah kemana, tangannya menyangga
dagunya yang malas untuk menengadah tegak, semua energinya hilang.
Memang minggu ini adalah minggu yang
berat untuk Rere. Dia baru saja bertengkar hebat dengan Lola sahabatnya sendiri
yang juga satu sekolah. Pertengkaran mereka dIka renakan laki-laki yang disukai
Lola ternyata menyukai Rere juga, sedangkan Rere sejak dulu juga memendam
perasaannya untuk laki-laki yang sama, Albie.
Rere bersumpah untuk mempertahankan
persahabatannya dengan Lola dan mengesampingkan perasaannya demi sahabatnya
itu. Baginya persahabatan lebih penting daripada pacar. Tetapi berbeda dengan
Albie. Dengan tanpa menyerah dia terus mendekati Rere di sekolah untuk
mendapatkan cinta teman sekolahnya. Hal itu membuat Lola semakin marah dan
kecewa kepada Albie dan Rere. Rere berusaha mati-matian untuk menghindari Albie
walaupun sebenarnya dia menyesal kenapa sahabatnya bisa suka pada pria yang
sama.
“Re, lo kenapa?“ Ika teman satu
kelasnya menghentikan lamunannya. Memang selain Lola, Rere juga berteman dengan
Ika. Karena Lola beda kelas, jadi dia menjadikan Ika sebagai temannya juga
walaupun tidak sedekat dia dengan Lola.
“Gak apa-apa ka, gue cuma lagi gak
konsen aja“
“Kok lo pucet sih? Lo sakit ya? Mau
gue anter ke ruang BP?
“Gak ka, g cuma gak konsen aja kok.
Tau nih pelajaran ngeBTin banget! Gara-gara omega 3 gue harus banyak makan ikan
deh…“ celetuk Rere berusaha ceria. Dia tidak mau masalahnya sampai tersebar dan
diketahui Ika dan yang lainnya.
“Serius lo gak apa-apa? Gue punya air
mineral nih, kalo lo mau… Lumayan buat melekkin mata, bentar lagi dah mau
pulang biar lo segeran dikit” Ika menawarkan dengan tulus kepada teman
sekelasnya itu. Rere pun langsung mengambil sebotol air mineral yang ditawarkan
Ika, memang dia haus dan jenuh dengan keadaannya sekarang. Langsung Rere
menyeruput botol mineral Ika dan mengosongkan seperempat dari setengah isi
botol itu yang langsung menyegarkan kerongkongannya.
“Thanks ya
Ka… sumpah, jadi seger lagi gue..“
“No problemo” kata Ika tersenyum dan mengambil botol
yang ada dari tangan Rere. Rere pun kembali menatap Bu Siska dan mencoba keras
memperhatikan ke papan tulis yang isinya menjelaskan klasifikasi omega 6 dan
makanan apa yang harus dihindari dan tidak perlu banyak dikonsumsi.
Lima menit kemudian bel sekolahpun
berteriak memerintahkan bahwa pelajaran hari ini selesai, serentak seluruh
murid di kelas 3 IPA 4 membereskan buku-buku mereka dan buru-buru menjejalkan
kedalam tas sekolah mereka masing-masing.
“Ayo Re kita ke parkiran bareng…” ajak
Ika. Memang sesudah seminggu bermusuhan dengan Lola, Rere selalu pulang bareng
Ika. Walaupun tidak betul-betul pulang bareng, paling tidak Rere punya teman
untuk jalan ke parkiran sekolah. Semenjak ulang tahunnya yang ke 17 dua bulan
yang lalu, papanya menghadiahkan mobil Honda Jazz untuknya. Dan selama 2 bulan
terakhir dia selalu menyetir sendiri setiap sekolah dan dengan senang hati
menawarkan untuk mengajak dan mengantar Lola walaupun hanya untuk hang out atau
sekedar pulang. Hampir setiap hari mereka pulang bareng, Lola pun sengaja
menyuruh supirnya untuk tidak menjemputnya. Tetapi seminggu terakhir ini, Rere
selalu pulang sendiri. Buat orang seceria Rere, akan sangat menyedihkan
untuknya kalau pulang sendiri.
“Lo duluan deh Ka, gue mau toilet,
cuci muka dulu… Suntuk banget nih, entar gak konsen lagi nyetirnya…“ Tolak Rere
halus. Dia memang berniat untuk ke toilet sebelum pulang. Mungkin sepercik air
bersih bisa menyegarkan pandangannya yang semenjak seminggu ini selalu layu.
“OK deh… see ya…“ sahut Ika sambil berlalu.
Sepeninggal Ika, Rere berjalan menuju
toilet yang berada di sudut sekolah di lantai 2. dia berusaha bersemangat agar
bisa segar cepat langsung meluncur ke rumahnya dan istirahat untuk menjalani
hari esok yang akan sama menjenuhkannya tanpa Lola ada disampingnya. Rere
menuju ke toilet booth paling ujung karena tampaknya seluruh booth penuh terisi
oleh murid-murid yang lain. Entah kenapa hatinya sangat hampa dan seluruh
perasaannya kosong tak bergairah hari ini. Dengan lunglai ia mengunci pintu
toilet dan menuju wastafel untuk mengguyur mukanya dengan sedikit air. Air
segar langsung menyiram wajahnya. Rere berusaha untuk tetap terjaga dan
melebarkan matanya agar tidak sayu. Tetapi kedua matanya seolah tidak
berkompromi. Rere merasa badannya lemas luar biasa dan kepalanya pusing tidak
tertahankan. Sambil terhuyung dan berusaha keras dia memegang kedua sisi
wastafel menahan berat badannya sendiri. Tetapi perasaan aneh membuat lututnya
lemas dan seolah-olah berat badannya bertambah 10 kali lipat, Rere pun jatuh
tak sadarkan diri di lantai wastafel.
Entah berapa lama Rere pingsan di
toilet perempuan itu. Tetapi begitu sadarkan diri, dia masih tetap di toilet
tak berpindah sedikitpun. Rupanya tidak ada satu muridpun yang menyadari bahwa
Rere pingsan di toilet. Dengan kepala berat Rere melirik jamnya yang melingkar
diam di tangan kirinya. Sudah jam 3 sore. Memang sekolah swasta tempat Rere
belajar, kegiatan operasional dimulai dari jam 7 pagi sampai jam 12.30 siang.
Dan gerbang akan ditutup pada jam 2 siang. Tidak ada kelas siang di sekolah
tersebut. Otomatis hal ini menyadarkan Lola bahwa dia sendirian di gedung
sekolah ini. Tidak betul-betul sendirian sebenarnya. Ada pak Somad penjaga
sekolah yang memang tinggal di dalam gedung sekolah khusus untuk menjaga dan
membersihkan sekolah. Rere pun menjumput tas sekolahnya dan berjalan menelusuri
koridor toilet untuk menemui pak Somad. Barangkali dia bisa membukakan gerbang
sekolah untuknya. Sambil merogoh tas mencari kunci mobilnya, sebelum mencapai
pintu toilet, tiba-tiba daun pintu ditarik terbuka dari luar dan muncullah 4
orang pemuda yang juga masih berseragam sekolah. Rere berusaha mengenali
mereka, tetapi dia sama sekali tidak punya petunjuk siapa mereka.
“Akhirnya ketemu juga… dicari-cari
dari tadi. Gue bilang juga apa kan Ben, dia pasti masih di dalam. Mobilnya aja
masih ada di parkiran“ kata salah satu dari mereka yang badannya tinggi
jangkung yang berwajah Indo-Pakis. Rere bisa mengenali karena untuk anak laki
seumuran dia bulu-bulu halus sudah tumbuh di bawah hidungnya yang mancung di
atas rata-rata orang pribumi.
“Iya… Gue pikir dia mungkin nebeng
temennya“ jawab Ben yang ternyata ada paling depan di antara mereka berempat.
Ben juga tinggi dan wajahnya tak kalah tampannya dengan yang pertama bicara.
Alis mata Ben sungguh tebal, hidung mancung dengan kulit yang lumayan putih
untuk ukuran laki-laki.
“Eh, sorry… tapi toilet anak laki ada
di bawah. Ini toilet anak perempuan” Jawab Rere polos. Dia berusah ramah
terhadap sekelompok pemuda itu.
“Halo Rere… pa kabar?“ sahut salah
satu mereka. Rere tampak terperanjat, kenapa mereka tahu namanya.
“Siapa ya? Kok gue gak kenal sama
kalian semua? Bukan anak sekolah sini kan?” Rere masih berusaha ramah seolah
ini adalah percakapan biasa yang pantas antara seorang gadis dengan sekelompok
anak laki-laki di koridor toilet perempuan.
“Lo emang cantik banget… ramah lagi.
Pantesan Albie naksir banget sama lo. Ya nggak Dave?” timpal si Indo-Pakis
sedikit menyeringai. Rere mulai tidak suka dengan perlakuan mereka. Dan kenapa
ada Albie yang terlibat dalam percakapan ini.
“Emang Albie gak salah pilih! Renata
aja kalah sama lo Re” jawab Dave yang Rere nilai tidak kalah gantengnya dengan
yang lain. Dave berperawakan tinggi dan lumayan atletis. Wajah oriental Indo
juga menghiasi mukanya. Indo mana? Rere tidak bisa memprediksi.
“Eh, siapa sih kalian? Kok kenal gue
sama Albie…” Nada suara Rere sedikit panik karena dia sekarang merasa terpojok.
“Kita-kita dateng kesini cuma mau
nyulik elo… Jangan tersinggung ya… tapi kayanya gue mau lebih dari nyulik… tul
gak guys?” Jawab Ben santai seolah ini adalah pernyataan yang normal. Dan
teman-temannya di belakangpun mengiyakan dengan kompak sambil menunjukkan mimik
seperti orang haus dan berseringai.
“Eh jangan becanda dong… jangan sampe
gue teriak” ada nada panik disuara Rere. Dengan reflek Rere merogoh tasnya.
Tangannya yang tadi di dalam tas untuk mencari kunci mobil sekarang berubah
untuk mencari handphonenya dengan gugup. Mungkin dia bisa menekan speed dial
untuk menelepon siapa saja agar bisa mendengarnya walau dari dalam tas.
Tetapi terlambat. Ben mengetahui
gelagatnya dan segera merampas tas Rere dan melemparnya jauh-jauh ke dalam
toilet. Sedetik kemudian semua buku-buku, kunci mobil, handphone dan make up
Rere berhambur keluar. Ada sesuatu yang terdengar pecah disana. Rere melengos.
Apa itu Hpnya. Atau mungkin salah satu alat kosmetiknya.
“Mau telpon siapa say…“ kata Ben
sambil memegang tangan Rere dengan mendekatkan seringai dan mukanya tidak lebih
dari 2 centimeter dari muka Rere.
Rere tahu, ini saatnya dia lari atau
kabur. Cari pertolongan, teriak atau menangis minta belas kasihan. Tetapi
hatinya merasa ini bukan saatnya untuk berkompromi lagi. Dengan sekuat tenaga
dia menghentakan kakinya menginjak kaki Ben yang sangat dekat dengan kakinya.
Ben pun melepas pengangan tangannya dan megaduh memegang kakinya sendiri. Tidak
menyia-nyiakan kesempatan. Rerepun langsung berlari menuju pintu toilet
menerobos sekelompok pemuda itu. Merekapun berusaha menahan Rere, tetapi entah
kenapa Rere bisa mencapai pintu dan menarik daunnya, membuat pintu terbuka dan
berlari keluar sekencang mungkin. Rere berbelok menuju ke tangga untuk turun ke
bawah. Dia tidak punya kunci, dia juga tidak punya HP untuk menelepon siapa
saja minta tolong. Rere berlari sekencang mungkin, dia tidak berani menengok ke
belakang. Dia Cuma berharap ini adalah mimpi buruk. “Bangun Re!” teriaknya
dalam hati berharap sesuatu akan terjadi. Tetapi dia tetap menemukan dirinya
masih berlari dan terus berlari.
Tiba di gerbang dia mendapati gerbang
itu sudah terkunci dari dalam. “Oh tidak!” seru Rere dalam hati. Rere memutar
otak. Pak somad! katanya lagi. Mungkin dia bisa ke tempat Pak Somad untuk minta
tolong. Rere pun membalikkan badannya. Dia lihat tak jauh dari tempatnya 4
orang pemuda berseragam putih abu-abu sedang berlari kencang ke arahnya.
Sejurus kemudian Rere berlari membelokkan badan menuju ke tempat pak Somad. Pak
Somad tinggal di belakang sekolah dan Rere pun tahu jalan memutar menuju ke
tempat pak Somad. Dia memberanikan diri menoleh ke belakang. Keempat pemuda
itupun masih mengikutinya. Jantung Rere berdegup kencang. Dia tidak boleh
lemah. Dia bisa berlari kencang.
Setiba di
tempat pak Somad. Rere mendapati pintu rumah sudah terbuka. Dilihatnya ke dalam.
Terlihat pak Somad sedang tertidur di tempat duduknya. Secangkir kopi,
sebungkus rokok dan sepiring roti donat ada di meja di depat pak Somad
terlelap. “Thanks God” seru Rere dalam hati. Dengan keras dia
mengetuk pintu membangunkan pak Somad.
“Pak Somad… pak…, bangun pak tolong
saya!!” tanpa permisi Rere masuk ke dalam rumah dan mengguncang tubuh pak
somad, berharap dia akan bangun dari tidurnya. Tetapi pak Somad tak bergeming
sedikitpun. “Pak… pak Somad! Bangun pak!! Tolong saya pak… ada orang yang mau
mencu…” sambil mengguncangkan dan membangunkan pak Somad, Rere menunjuk dan
menoleh ke luar seolah-olah ingin menunjukkan ada orang jahat yang mau
menculikntya. Tetapi di arah Rere menunjukkan jari telunjuknya, keempat pemuda
tersebut sudah berdiri berjajar dengan tenangnya sambil melipat tangan
seolah-olah mereka berpose untuk suatu pemotretan. Rere merasa keadaan sudah
sangat buruk.
“Ngapain say… pak somadnya lagi
tidur… jangan dibangunin… kasihan dong… kan udah capek kerja seharian..”
lagi-lagi Ben yang berkata. Dengan santai dia masuk ke dalam dan mengeluarkan
sesuatu dari kantong bajunya. Seperti obat kapsul berwarna biru muda. Ben
membuka kapsul itu dan menuangkan isinya ke dalam cangkir kopi pak Somad.
Rerepun mengerti. Pak Somad sedang tak sadarkan diri.
“Kok gak ngenalin sih say… kamu kan
tadi minum ini juga… lupa ya?” masih sambung Ben. Rere ingat, tadi dia sempat
tak sadarkan diri.
“Tapi… gimana caranya??” jawab Rere
pelan tak bernada. Dia bingung kapan dia meminum obat tersebut.
“Duh, kaya investigator aja deh kamu…
kasih tau deh Zack…“ sahut Ben dengan malas dan orang yang bernama Zack itu pun
menyahut. Ternyata orang keempat yang dari tadi Rere tidak mengetahui itu
namanya Zack. Rere pun mulai memperhatikan keempat orang tersebut. Mereka sungguh
laki-laki yang wajahnya di atas rata-rata. Semuanya berpenampilan ok dan
tampan.
“Tadi kita titipin ke Ika…” sahut
Zack sedikit santai. Rere pun seperti tersambar petir, dia kaget luar biasa.
Tidak di sangka temannya sendiri menjebaknya.
“Kenapa…” seru Rere tanpa sadar. Dia
terbengong. Di kepalanya sekarang menari-nari wajah Ika sambil tersenyum licik
kepadanya.
“Gimana say… mau ikut kita. Kalo kamu
nurut, semuanya akan baik-baik saja..” Ben dengan santai meraih tangan Rere
menggandeng gadis itu. Rere tersadar, tanpa berlama-lama dia menepis tangan Ben
dan mendorong Ben berharap dia akan pergi jauh-jauh meninggalkannya. Ben
terdorong mundur 3 langkah. Wajahnya menunjukkan perasaan marah. Sedetik
kemudian Ben melangkah maju kedepan dan PLAK!
Rere tersungkur jatuh menerima
tamparan keras di pipi kirinya, terjerembab menabrak meja pak somad. cangkir
kopi pak Somad jatuh dan pecah sesudah mengguyur badan Rere menumpahkan isinya
ke seragam putih Rere dan menembus kedalam kulitnya menunjukkan gundukan kembar
Rere yang tersiram, memetakan garis bra Rere yang berwarna hitam sehitam air
kopi yang mengguyurnya. Pipi kirinya terasa panas dan perih. Perutnya sakit
sehabis menghantam tepi meja pak Somad. sekarang, perasaan kalut menguasai
hatinya. “Bagaimana ini…” dalam hati Rere. Kemudian Rere merasa badannya
diangkat ke atas dipaksa berdiri oleh tangan Ben. Rere pun berdiri. Tangannya
tak sengaja mengelus pipi kirinya yang perih. Ben melihat setitik darah
mengalir dari pinggir bibir Rere. Lalu Ben menghapus darah itu dengan punggung
tangannya. Rere berusaha mengelak, sehingga darah itu masih meninggalkan bekas
di sisi bibir Rere.
Rere tidak menangis walau rasanya
perut, pipi dan hatinya sakit dikhianati. Dia tidak mau terlihat lemah di depan
keempat pemuda tersebut.
“Sorry ya say… abis kamunya gitu sih…
Kita cuma mau bawa kamu doang kok…” Sahut Ben sambil membelai rambut Rere
mesra seolah-olah seorang kekasih bicara kepada gadisnya. Rere benci nada suara
itu. Dia memutar otaknya. Bagaimana dia bisa keluar dari masalah ini.
“Tolong… jangan ganggu gue…Gue.. gue
bakal bayar…bayar tiga kali lipat dari orang yang bayar lo..” dengan
terbata-bata Rere mencoba untuk bernegosiasi kepada Ben.
“Engga bisa
gitu dong say… emang kamu pikir kita-kita ini orang yang butuh uang. Enggak sayang…lagian
ini udah termasuk urusan perasaan… right guys?” Ben bertanya ke teman-temannya dan sekali
lagi mereka mengiyakan dengan kompak.
Rere pun merasa sudah tidak ada
harapan lagi untuk dirinya. Dia juga mendiamkan Ben yang meraih tangannya dan
menggandengnya keluar. Dengan menurut Rere berjalan keluar. Sesampai di luar
tak jauh dari pintu rumah pak Somad. Rere kembali menghempaskan tangannya dan
berusaha melepaskan diri berlari. Kaget dengan pegangannya, tanpa sadar tangan
Rere sudah terlepas dari Ben. Rere pun kembali berusaha berlari. Namun Dave,
Zack dan si Indo-Paskin dengan cekatan mengejar Rere. Dengan perut yang masih
sakit, Rere tidak bisa berlari sekencang tadi. Tapi dia terus berlari. Dia
tidak berani melihat ke belakang. Dan tidak lama kemudian dia merasa bajunya
dipegang dan ditarik dari belakang. Tetapi Rere tetap berlari berharap tarikan
baju itu akan terlepas. Tetapi pegangan itu begitu kuat dan kencang sehingga
merobek baju belakang seragam Rere. Rere pun kembali jatuh terjerembab di rumput
belakang sekolahnya. Terjatuh tertelungkup. Dia coba untuk bangun tanpa
menghiraukan bajunya. Tetapi tiba-tiba dibelakang tubuhnya ada yang menindih
dan menahannya untuk tetap berada terlungkup di rumput.
“Lepasin gue!.. Lepasin!!! TOLONG!!
TOLONG!!!” teriak Rere berusaha berontak. Sedetik kemudian tangan kasar
membalikan badannya dengan kuat. Di lihat Ben berada di atasnya. Dan PLAK!!
PLAK!!
Dua tamparan kembali dihadiahkan di
pipi kanan dan kiri Rere. Kembali Rere merasa seperti di hantam dengan benda
yang sangat keras di kedua pipinya. Rere merasa seakan rahangnya ikut terlepas
setelah tamparan kedua itu mendarat di pipinya. Ben masih menindih Rere yang
sudah terlentang. Dengan geram dia mencekik leher Rere. Rere tidak bisa
mengelak lagi. Dia merasa akan mati. Dia tidak bisa bernafas. Dia juga tak bisa
bicara. Tangan Rere dengan segera memegang tangan Ben mencoba melepaskan
cekikannya. Kakinya menendang-nendang rumput di bawahnya. Muka Rere sudah
memerah. Sungguh satu menit yang menyiksakan setelah dengan tiba-tiba Dave
mengingatkan Ben untuk melepaskan cekikannya.
“Ben, Gila lo… bisa mati dia!!
Lepasin!” Lalu Ben tersadar dan melepaskan cekikannya. Rere pun terbatuk-batuk.
Lega dia bisa bernapas lagi, meskipun kalau boleh memilih dia mau langsung tertidur,
mati… atau pingsan dan bangun di tempat yang jauh dari sini. Selamat dan hidup
normal lagi.
Tiba-tiba Ben bangun dari tubuh Rere
dan menarik Rere untuk berdiri. Rere pun terbangun.
“Sam, pegangin dia! Biar enggak kabur
lagi!” si Indo-pakis langsung bergerak memegang Rere, rupanya dia bernama Sam.
Ben kembali melihat ada sebersit goresan yang mengeluarkan darah di pelipis
kanan Rere. Rupanya Rere tergores ketika jatuh tadi. Dan sedetik kemudian Ben
menarik seragam putih Rere dan langsung merobeknya terbuka tepat di dadanya.
Kancing seragam Rere pun terlepas semua saking kencangnya robekan tangan Ben.
Spontan buah dada Rere yang masih terpampang memperlihatkan isinya kepada
keempat pemuda tersebut. Rere segera berusaha menutup dadanya dengan menyatukan
robekan seragamnya. Tetapi Sam dengan cepat meraih tangannya menekuknya ke
belakang sehingga Rere tidak bisa berkutik lagi. “PLAK!”
Tamparan sekali lagi mendarat di pipi
kiri Rere, darah segar kembali mengalir dari tepi bibir Rere.
“Jangan ngelawan lagi dong sayang…aku
udah capek nih main lari-larian…!” Kata Ben. Ada nada mengancam di sana. Ben
memandang buah dada Rere. Lalu dia meraih rok abu-abu Rere. Rere pun berusaha
menghindar, tetapi pegangan Sam sungguh kuat sehingga dia tidak bisa mengelak
lagi. Dengan kasar Ben merobek rok Rere dari bawah ke atas. Belahan panjang
terobek tepat di tengah-tengahnya sehingga memperlihatkan celana dalam hitam
Rere. Kaki Rere yang jenjang pun ikut terpamerkan seperti dada dan perutnya.
Kembali Ben mengoyak rok abu-abu Rere, kali ini tempatnya di sisi kiri yang
dapat memperlihatkan paha Rere yang putih mulus. Rere sekarang merasa bahwa
sekarang seragamnya tidak bisa melindunginya dari keterlanjangan. Tetapi dia
tidak bisa berbuat apa-apa.
“Say bagus banget sih bodynya…” Seru
Dave tiba-tiba mendekat dan memegang buah dada kiri Rere yang menggantung indah
meskipun masih tertutup pembungkusnya.
“Iya ya… si Albie bener-bener pinter
pilih cewek” Sam ternyata mengambil kesempatan memegang buah dada Rere yang
sebelah kanannya. Tetap Rere tidak menangis dalam keadaan seperti ini. Dirinya
sudah hampir telanjang. Pipinya panas, pelipisnya perih, perut dan hatinya
sakit memikirkan kenapa Albie dan Ika bisa sejahat itu padanya.
Lalu Ben mendekat. Dia mendekatkan
tangan kanannya ke tubuh Rere. Rere langsung memejamkan mata, mengira Ben akan
menamparnya lagi. Dia sudah tidak tahan lagi dengan tamparan Ben. Tetapi
ternyata Rere salah terka. Ben meletakan tangannya di kemaluan Rere yang masih
terbungkus celana berbahan silk tipis yang mempesona.
“Re… masih perawan ga??” tanya Ben
sambil mengelus kemaluan Rere. Rere terdiam. Dia merasa pertanyaan itu tidak
untuk di jawab. Lalu Ben menampar Rere lagi. Lalu menjambak rambutnya dengan
tangan kirinya membuat kepala Rere menengadah sementara tangan kanan Ben masih
meraba benda kehormatan Rere.
“Jawab say!” kata Ben dengan nada
tetap halus. Rere bingung kenapa orang seperti Ben bisa berbuat kasar tetapi
berkata halus. Hal itu membuat Rere semakin panik.
“I iii iiya…!“ jawab Rere gemetar.
“SHIT!!“ serapah Ben sambil melepas
pegangannya menjauh dari Rere.
“Kenapa bro? bukannya harusnya kita
seneng?” timpal Zack bingung.
“Bukan gitu Zack!!! Perjanjiannya,
kalau dia udah engga perawan lagi kita boleh make. Tapi kalo masih, kita gak
boleh make dia”
“Kenapa gitu?! Kok perjanjiannya
tolol banget!” timpal Dave yang juga kecewa dengan keputusan Ben.
“Itu udah kontraknya sama dia!! Orang
yang nyuruh kita itu gak mau ngambil keperawanan Rere. Tapi kalo emang udah
enggak baru kita bisa make dia!”
“What the hell… I’ll fuck her! We’ve been this far!!”
seru Dave kembali.
“No way bro… that’s the deal!!” Ben berseru.
“Fuck the dea!!. I’m still gonna fuck this girl..!!”
Sam nampaknya tak mau ketinggalan argumentasi. Hal ini memberikan kesempatan
pada Rere untuk mencari celah melarikan diri. Dengan mengerahkan seluruh
tenaganya Rere menhentakkan kakinya lagi menginjak kaki Sam yang menguncinya.
Sam pun terkejut kesakitan pada telapak kaki kanannya yang di injak Rere. Sam
melepaskan pegangannya, sejurus kemudian Rere kembali berlari. Dia terus
berlari menuju gerbang depan. Atau mungkin dia akan bersembunyi ke dalam salah
satu kelas. Terus sembunyi sampai ada kesempatan untuk menuju gerbang depan
walaupun sampai malam. Seragam Rere yang sudah robek parah berkibar di belakang
mengiringi pelariannya. Rere masih tidak berani menengok ke belakang. Lalu dia
melihat satu kelas yang pintunya terbuka. Rere masuk ke kelas itu dan langsung
menutup pintunya. Tetapi sebelum pintu tertutup, seseorang mendorong keras dari
luar membuka pintu dan pintu itu terjeblak keras terbuka menghantam wajah Rere.
Rere kembali terjatuh. Lalu dia melihat Ben berada di bingkai pintu. Rupanya
dia berhasil mengejar Rere, dan ketika Rere menutup pintu, dengan kasar Ben
mendorong pintu itu sehingga Rere yang berada di baliknya terhantam keras tepat
mengenai hidungnya. Dengan sadar dia meraba hidungnya. “Sakit…“ Katanya dalam
hati. Setetes darah berhasil menempel di buku jari telunjuk Rere. Hidungnya
sepertinya patah. Rere merasa panas dan sakit yang teramat dalam di hidungnya.
Masih dalam posisi terduduk jatuh. Dengan murka Ben menarik Rere bangkit dari
lantai keras dan menhempaskan tubuh Rere ke meja terdekat. Kembali perut Rere
menghantam tepi meja. Ini lebih sakit dari tamparan-tamparan di pipi yang
diberikan Ben tadi. Rere terhuyung jatuh ke bawah. Perutnya terasa berat dan
mual. Rere melingkar tersimpuh menekan perutnya, berusaha menahan rasa sakit
yang teramat sangat. Sedetik kemudian dia memuntahkan sesuatu. Tepat didepan
matanya, darah segar keluar dari mulutnya yang mungil itu. Rere pun tetap
bersimpuh di lantai kelas. Dia tidak sanggup untuk berdiri.
Kemudian, Ben menarik dagu Rere yang
tertunduk membuat dia menengadah menatap Ben. Dia melihat keempat pemuda itu
sudah ada di hadapannya lagi. Ben melihat setitik air mata tercetak di mata
Rere. Bukan air mata sedih dan takut yang dikeluarkan Rere. Tetapi air mata
menahan sakit di perutnya.
“Cantik juga ya kamu… kalau kaya
gini…” senyum Ben menyeringai sambil menghapus aliran darah yang mengalir di
dagu Rere.
“Kalo seandainya kamu nurut sama aku,
gak bakal jadi begini sayang…”
“Tolong… jangan ganggu gue.. tolong,
jangan perkosa gue. Gue masih perawan…”
“Perjanjiannya udah berubah sekarang
sayang… kalau kamu seandainya nurut, mungkin aku akan membela kamu biar gak
usah diperkosa rame-rame… sekarang kamu engga ada pilihan lagi say…”. Rere
masih belum mau menyerah dengan kenyataan ini. Dengan melupakan rasa sakit
diperutnya yang teramat sangat, dia kembali mendorong tubuh Ben sehingga
menubruk teman-teman Ben yang tepat berada di belakangnya. Lalu dengan langkah
seribu dia berlari kearah pintu menuju gerbang sekolah. Dia terus berlari.
Entah kekuatan darimana tetapi dia memacu kakinya untuk terus berlari.
Tiba di gerbang, Rere menggedor-gedor
gerbang dengan keras.
“TOLONG… TOLONG!!!!“ katanya
kuat-kuat. Lalu Rere menoleh ke belakang dan di lihatnya keempat pemuda itu
sudah semakin dekat. Rere kembali berputar untuk berlari. Dia tahu dia harus
terus berlari. Menoleh sebentar kebelakang memastikan dia cukup jauh untuk
bersembunyi dan tiba-tiba tanpa sadar, kakinya terantuk keras ke tiang
penyangga rantai parkir dan terjatuh keras ke lantai aspal parkiran sekolahnya.
Langsung saja, denyut kesakitan yang luar biasa di lutut Rere hampir
mengaburkan pandangannya, berkunang-kunang sebentar kaki Rere terasa sakit
bukan kepalang. Rere memegang kakinya. Bagaikan tertiban batu besar yang
meremukkan kakinya, Rere merasa bahwa lututnya menyiksanya. Matanya langsung
berair mencoba menahan sakit. Rere merintih menggigit bibirnya sendiri sambil
memegang lututnya. Ketika dia coba untuk bangkit berdiri. Lutut dan tulang
keringnya serasa tidak bersahabat. Rere terjatuh lagi.
“Ha.. ha.. ha…“ Terdengar tawa keras
yang sangat dekat. Di depannya Ben dan teman-temannya sudah berdiri tepat
mengelilingi Rere. Rere sangat takut kalau Ben akan memukulnya lagi. Dia sudah
sangat kesakitan. Tetapi dia tidak bisa berlari lagi. Dia merasakan kaki
kanannya yang terantuk tiang sepertinya patah dan tidak bisa diajak untuk
berlari.
“Rere… kok bisa jatuh? Engga liat
jalan ya say…!” Belai Ben di rambut Rere mengikuti cemoohannya. Rere sudah
sangat ketakutan sekarang. Ben mulai menggerayangi Rere yang sudah tidak
berkutik lagi walaupun tak ada Sam yang memeganginya dari belakang. Rere
berusaha menyeret tubuhnya mundur menghindari keempat orang tersebut walaupun
dia tahu hal itu tidak akan membantu banyak. Tiba-tiba Ben menjenggut kasar
rambut Rere dan menjambaknya keras. Sementara tangan kanan Ben menekan keras
lutut Rere dimana warna biru kemerahan sudah membilur pucat mengotori warna
putih mulus di sana.
“Acchh…!” Rere mengerang kesakitan.
Seakan Ben tidak menghiraukan Rere dan ingin membuatnya sakit lebih dalam lagi,
Ben terus menekan kuat lutut Rere yang sudah membiru kehitaman. Air mata
mengalir deras di pipi Rere menahan sakit yang teramat sangat di kakinya yang
membiru. Dia sadar sudah tidak ada jalan keluar lagi.
“Sakit ya say…?” Tanya Ben mesra,
sementara ketiga temannya tersenyum puas. Merasa mangsanya sudah tidak bisa
berkutik lagi. Mereka senang tidak ada adegan kejar-kejaran lagi.
“Tapi kamu tambah cantik kalau
kesakitan gini…!” sambung Ben lagi. Rere merasa jijik dan marah terhadap
keempat orang tersebut. Tetapi yang pasti sakit di kaki ini tidak seberapa
dibanding sakit hatinya terhadap Ika dan Albie. Kenapa mereka berdua begitu
tega bersekongkol untuk menyakitinya. Dia tidak mengerti apa salahnya kepada
Ika. Dan mengapa Albie bisa berbuat sejauh ini karena penolakannya.
Tiba-tiba Rere merasakan tangan Ben
sudah berpindah dari lutut naik ke daerah sensitif segitiga Rere. Kali ini dia
menarik celana dalam Rere. Menurunkannya kebawah sehingga celana dalam itu
merosot ke bawah menunjukkan kemaluan Rere dengan jelas. Berusaha untuk terus
sadar. Rere merasakan sakit kembali di lututnya ketika celana dalamnya ditarik
paksa dan mengenai kakinya yang jenjang. Rere sadar dirinya sudah setengah
telanjang saat seragam putih abu-abunya dirobek paksa oleh keempat pemuda
tersebut. Tapi sekarang, tanpa pembungkus segitiga itu, Rere merasa sudah
telanjang bulat meskipun seragam compang-campingnya masih tersanggah di
badannya walaupun tidak bisa menyembunyikan sempurna seluruh anggota badannya.
“Tolong… Ben…jangan perkosa gue… Gue
akan kasih apa aja yang lo mau asal jangan perkosa gue… tolong…” Seru Rere
memelas.
“Wah, dia udah tau nama lo Ben…
Ha…ha…haa…ternyata cewe ini udah kenalan ma lo ya Ben?!” Celetuk Dave tepat di
samping. Ada air mata menetes tepat di dada Rere yang terbuka. Ben menyeka air
mata itu sambil berusaha membuka bra hitam yang Rere kenakan hari itu.
“Tolong… Ben,…jangan!” mohon Rere
sambil memegang tangan Ben yang berusaha melepas bra-nya dengan kedua
tangannya.
“Sebutin aja angkanya, gue bakal
usahain…Tapi jangan perkosa gue… please…” Rere mengiba dengan berlinangan air
mata. Tetapi rupanya Ben tidak merasa kasihan dengannya. Lalu Ben menghempaskan
tubuh Rere kembali ke tanah. Sejurus kemudian, Ben mulai membuka ikat
pinggangnya, membuka celananya mengeluarkan kemaluannya yang ternyata sudah
tegak menjulang. Rere sungguh ketakutan. Dia terus berusaha menyeret badannya
mundur. Tetapi Ben dengan tenang menindih Rere, gelagak tawa melatarbelakangi
adegan ini. Ben kemudian menciumi bibir Rere dengan lembut dan sopan seolah ini
adalah ‘malam pertama’nya. Dengan sekuat tenaga Rere menghindari ciuman itu.
Tetapi dia sudah tidak berdaya lagi.
Ben sekali lagi mulai menggerayangi dan menjamahi tubuh lemas Rere. Dia bahkan
menciumi tengkuk dan telinga Rere.
“Kan udah aku bilang sayang… sekarang
tuh udah bukan urusan duit perasaan, tapi urusan hati. Aku gak butuh uang kamu
kok… uangku juga banyak. Aku cuma mau membagi dan merasakan cinta untuk kita
berdua…“ Darah Rere berdesir ketika dirasakan benda tumpul dan kenyal sudah
menempel di kemaluannya yang sudah telanjang, memaksa masuk ke liang
kehormatannya. Rasa takut dan putus asa mulai menguasai Rere. Akal sehatnya
hilang. Air matanya mengalir deras menahan sakit di sekujur tubuhnya ketika
tiba-tiba seseorang dari belakang menarik Ben ke atas dan meninjunya keras
sehingga Ben tersungkur. Tanpa memberi ampun. Laki-laki itu terus memukuli dan
menendangi Ben yang terjatuh dengan kepalan tangan dan kakinya ke segala arah
di seluruh badan Ben. Menendang perutnya sangat keras. Rere tidak bisa melihat
siapa orang itu. Tetapi dia bisa melihat Ben memuntahkan darah segar ketika
orang itu menendang perutnya. Sesaat kemudian Zack, Sam dan Dave mulai tersadar
dari bengongnya dan segera menolong Ben dengan menarik orang itu dan
menguncinya untuk tidak berkutik lagi. Rere akhirnya melihat siapa dia.
“Albie…“ katanya dalam hatinya. Tanpa
sadar dia menarik dan memakai lagi celana dalamnya. Sedetik kemudian dia hanya
bisa terbengong melihat kejadian Albie di bekuk oleh ketiga teman Ben. Ben pun
mulai bangkit berdiri. Memakai celananya kembali, menyeka bibirnya yang
bersimbah darah dengan punggung tangannya. Buku-buku jarinya mengepal dan
membentuk tinju. Kemudian dia sedikit berlari menghampiri Albie dan meninjunya
keras-keras. Albie tidak tersungkur karena dipegangi ketiga teman Ben, tetapi
Rere melihat Albie tertonjok telak dan langsung mengeluarkan darah di salah
satu lubang hidungnya.
Albie berusaha melawan. Tetapi ketiga
pegangan pemuda itu sungguh kuat menguncinya.
“SIAPA LO?!!” teriak Ben marah.
Tangannya tetap terkepal membentuk tinju yang Rere yakin sangat menyakitkan
kalau terkenanya.
“EH PENGECUT! KALO BERANI SATU LAWAN
SATU. JANGAN KEROYOKAN GINI! DASAR BANCI LO!!! CUIH!!” Albie pun tak kalah
geramnya sambil meludahi Ben dengan segala keberaniannya.
Seakan tersambar petir, Rere
menyadari kalau mereka tidak mengenali Albie. Berarti mereka bukan suruhan
Albie. Rere sungguh menyesal mengapa dia sempat menyalahi Albie. Ternyata Albie
datang untuk menolongnya.
Rere tahu kalau saat Albie meludahi
Ben, sesuatu yang buruk akan menimpa Albie. Dengan segala kemampuannya Rere
bangkit berdiri, berlari terpincang-pincang dan segera memeluk Albie seolah
melindungi Albie dari Ben dengan badannya yang kecil dan terluka.
“Albie…” tangis Rere sambil
memeluknya keras menghiraukan keempat pemuda yang lain.
“kamu engga apa-apakan Re? Tenang aja
Re, semua akan baik-baik aja…” jawab Albie berusaha menenangkan Rere meskipun
dengan posisi terkunci dia tidak bisa membalas pelukan Rere yang sudah lama dia
nantikan.
Ben rupanya tersadar kalau yang
memukulnya bernama Albie. Lantas saja dia menarik tubuh Rere menjauh dari
pelukan Albie ke pelukannya sendiri. Sambil memeluk Rere dari belakang, Ben
mulai memperhatikan Albie yang masih memberotak kunci sekapan mati dari ketiga
sahabatnya. Untuk pandangan seorang laki-laki, menurut Ben Albie memang
laki-laki yang ganteng. Hidung yang mancung menghiasi wajahnya yang putih.
Badannya tegap atletis. Tingginya juga sama dengan tinggi dirinya dan
teman-temannya.
“Jadi elo yang namanya Albie…” Ben
bertanya sambil terus memeluk Rere dari belakang.
“Jangan sentuh Rere lo bajingan!!
Siapa yang nyuruh lo! Suruh dia berhadepan sama gue!! Dasar lo pengecut
semua!!” Albie tetap menantang walaupun menurut Rere posisi Albie sekarang
sangat tidak menguntungkan.
“Ben, kita bikin mampus aja nih anak!
Belagu banget!!“ Zack menimpali tak sabar.
“Jangan… Dia gak boleh disakitin…Itu
udah termasuk perjanjian. Katanya dia gak mau terjadi apa-apa sama dia” jelas
Ben ke teman-temannya. Nampaknya Sam tidak setuju, tetapi dia tetap menepati
perjanjian itu dan kedua yang lainnya pun akhirnya setuju.
“APA LO BILANG?!!” Albie kembali
berteriak. “SIAPA… SIAPA YANG NYURUH LO SEMUA!!?? BILANG SIAPA YANG NYURUH
LO!!!!!” Albie semakin geram. Rere berfikir kenapa orang di balik semua ini
tidak mau menyakiti Albie? Kenapa Ben dengan gampangnya melayangkan tamparan
dan pukulan ke dirinya tetapi tidak boleh menyakiti Albie? Sesaat kemudian Rere
tersadar bahwa dirinya sakit, lututnya pun kembali mendenyut nyeri dan sedetik
kemudian diapun tidak bisa menahan berat badannya dan terjatuh lunglai dalam
pelukan Ben.
Dengan badan merosot lunglai
dipelukan Ben, Albie melihat dengan jelas bahwa tangan Ben tepat berada di buah
dada Rere menahan agar Rere tidak jatuh dan tetap berada di pelukannya, dan
Albie pun menyadari bahwa Rere sudah setengah telanjang dengan seragamnya yang
sudah compang-camping. Darah berdesir hebat di kepala Albie. Menahan amarah,
Albie terus berkutat. Tahu bahwa mereka tidak boleh menyakiti Albie, Sam, Zack
dan Dave hanya terus berusaha menahan dan mengunci Albie sementara sahabatnya
yang satu lagi dengan santai menjamah tubuh perempuan cantik yang terkulai
lemas di pelukannya.
“LEPASIN TANGAN LO BANGSAT!! LEPASIN
RERE!!” teriak Albie dengan nada kebencian yang luar biasa. Namun Rere tetap
terpeluk. Tubuhnya meronta lemah dipelukan Ben.
“Tenang bro… kalau gue lepas, cewe
idaman lo ini bakalan jatuh. Kayanya kakinya patah tadi…“ jawab Ben santai.
“Kamu sih pake ngelawan, jadinya kaya gini tuh…“ sapa Ben ramah kembali kepada
Rere sambil memberikan kecupan di bibir Rere sengaja membuat Albie panas. Rere
pun tidak bisa berbuat apa-apa, hanya air mata tak hentinya mengalir dari
matanya yang sayu.
Albie terus memberontak berusaha
melepaskan ikatan teman-teman Ben.
Pergelutan antara bibir Ben dan Rere
tampaknya terus berlangsung sambil tak lupa tangan Ben terus menggerayangi
seluruh tubuh Rere bahkan ke daerah-daerah sensitif Rere. Rere sedikit menggelinjang
merasakan cumbuan Ben. Dia merasakan sentuhan itu tepat mengenai hatinya yang
sakit. Rere pun kembali menangis. “Jangan… mmphh“ mulut Rere terus dilumat
sementara Rere terus menolaknya.
Lima menit cumbuan itu berlangsung
diiringi dukungan semangat dari ketiga temannya sementara Albie terus berkutat
sambil berteriak-teriak berharap ada orang yang mendengarnya dari luar. Rere
seperti sudah di vonis untuk diam tak berkutik. Diapun tidak bisa menghidari
ciuman dan serangan tangan Ben diseluruh tubuhnya. Namun dia berusaha menutup
bibirnya agar lidah Ben tidak masuk ke dalam. Sementara Ben semakin jenuh
dengan penolakan Rere, lantas dia menekan keras dilutut tempat bagian tubuh
Rere yang terluka sehingga membuat Rere mengerang kesakitan. Dan kesempatan
disaat mulut Rere terbuka inilah Ben memasukkan lidahnya ke dalam dan
memainkannya di sana.
Albie sungguh tersiksa melihat
kejadian tersebut. Dia terus berteriak-teriak menyumpahi kata-kata kotor kepada
Ben. Sampai akhirnya Ben tersadar saat Albie meneriakan “KALO LO SAMPE PERKOSA
DIA!!! GUE SUMPAH, GUE BAKAL HABISIN KELUARGA LO. GUE JUGA BAKAL PERKOSA ADIK
PEREMPUAN LO!!!!“ Ben menghentikan ciuman dahsyatnya. Kemudian dia terdiam.
Selama 2 detik dia berfikir sampai dengan sangat tiba-tiba dia terbangun dan
melepaskan Rere yang langsung otomatis terjatuh lunglai di tanah, berjalan
menghampiri Albie..
“Denger ye, gue punya penawaran
menarik buat lo.” Seru Ben pelan di wajah Albie dan teman-teman Ben. “Emang
perjanjiannya gue gak boleh nyakitin elo dan gue gak boleh make dia kalo dia
masih perawan. And guess what ?…She is a virgin…jadi emang gue gak boleh make
dia” katanya sambil menoleh sebentar-sebentar ke arah Rere yang terduduk lemas
di tanah sambil memegangi kakinya.
“Taaaaaapiiiiiiiiiiiiiii…” lanjut Ben
dengan nada panjang, “Cewe idaman lo ini bener-bener OK banget bro… gue gak
bisa nahan konak kalo ngeliat dia… temen-temen gue juga… mereka niatnya mau
make cewe lo virgin atau gak virgin. Jadi apa boleh buat!??” Ben mengangkat
bahunya santai.
“Cuman gue masih punya hati
bro…Penawaran gue, berhubung dia itu cewe idaman lo, gue mau lo pake dia
duluan. You take her virginity… abis dia udah gak virgin lagi, baru gue and
temen-temen gue gantian yang make dia… Kan jadinya gue gak melanggar kontrak.
Kalo lo dah pake dia, berarti kan dia udah gak perawan lagi. Jadi kita-kita
bisa make dia… he…he… gimana?” Ben menjelaskan dengan tersenyum sinis.
“JANGAN MIMPI LO BANGSAT!!!!!” Albie
nampaknya geram sekali dengan pernyataan Ben. Rere juga terkejut dengan rencana
itu. Dia sampai meringkuk melingkar sambil berusaha menahan sakit di kakinya.
Ben nampaknya sudah yakin dengan
keputusannya. Lalu dia berjalan mendekati Rere, sedetik kemudian dia merangkul
dan membopoh Rere masuk ke dalam kompleks sekolah.
“Come on guys… Bawa tuh si Albie…” Ben memerintahkan
teman-temannya yang masih menjepit Albie. Mereka pun langsung menggeret Albie
mengikuti Ben.
Ben rupanya menuju ke salah satu
ruang kelas yang belum (lupa) dikunci pak Somad. Rere mengenali dia masuk ke
ruang BP. Dengan berusaha kuat dia menyeret kakinya yang sepertinya patah dan
terpaksa mengikuti Ben yang membopong paksa menuju ke ruang BP.
Di dalam ruang BP terdapat beberapa
Sofa kecil dan satu sofa panjang mengitari satu meja dengan rapi. Ben membuang
Rere ke sofa panjang tersebut. Spontan Rere terpekik ketika dia terduduk jatuh
ke sofa. Dan lagi-lagi Rere merasa kakinya sudah sangat tidak tertahankan. Rere
melihat Ben menggeret dan memindahkan sofa-sofa kecil dan meja ke sudut
ruangan. Dari bingkai pintu juga Rere melihat Albie yang baru tiba dengan Dave,
Zack dan Sam. Mereka masuk ke dalam ruangan BP yang sekarang sudah sangat lega.
Ben selesai menggeser sofa terakhir ke pojok ruangan dan segera menghampiri Rere.
Sekilas Rere pikir akan di angkat lagi oleh Ben, tetapi Rere salah. Tangan Ben
yang menuju arahnya menarik seragam putihnya dengan paksa. Lalu Ben juga
mengoyak rok abu-abu Rere,menariknya terlepas. Rere sekarang hanya mengenakan
bra dan celana dalam saja. Spontan dia langsung berusaha menutupi dirinya
dengan kedua tangannya meskipun menyadari kalau itu sia-sia saja. Albie yang
melihat hanya bisa memberontak kuat dari pegangan ketiga kawan Ben. Lalu Ben
kembali menelanjangi tubuh Rere, dia segera melepas bra dan celana dalam Rere.
Tampak selama sepersekian detik Ben
terbengong dan terkagum melihat keindahan tubuh hasil penelanjangannya itu.
Tubuh Rere begitu indah, mulus dan putih. Buah dadanya pun masih sangat kenyal,
kencang dan padat dengan ukuran 34 B. Ben juga menelusuri selangkangan Rere
yang putih bersih. Bulu-bulu halus menghiasi permuaannya membentuk seperti
bukit mungil. Rere berusaha menutup kakinya dan dia sekarang benar-benar sudah
sangat ketakutan. Kalau boleh memilih, Rere ingin tubuh telanjangnya hanya
boleh di nikmati Albie saja. Tetapi hal ini tidak mungkin.
“Tolong… Jangan perkosa saya…”
Sekarang nada bicara Rere sudah sangat sopan dan ketakutan. Menyerah dengan
keadaan, berusaha memohon dengan segala kehinaan kepada Ben yang masih mengagumi
tubuh indahnya.
Albie pun tanpa sadar juga mengagumi
tubuh gadis idamannya, “Bagus banget badan kamu Re…” kagum Albie dalam hatinya.
Tetapi dia masih bisa mengendalikan diri dan segera memalingkan pandangannya ke
sudut ruangan. Berusaha untuk tidak lebih menelanjangi Rere dengan tatapan
matanya. Sementara ketiga orang yang memegang Albie pun sama-sama tertegun akan
sosok telanjang gadis di depan mereka. Mata mereka tak pernah berpindah dari
tubuh Rere, terutama buah dada dan kemaluan Rere, tetapi tangan mereka tetap
memegang keras sekapannya.
“Sekarang lo pegang nih badan cewe
lo…” jawab Ben santai. Albie yang sedari tadi masih memandang sofa yang
tertumpuk dipojokan, tahu kata-kata itu akan keluar dari mulut Ben semenjak dia
mengatakan ‘lo pake dia duluan’. Ben tidak beranjak dari tempatnya. Dia tidak
mau menikmati tubuh Rere dengan cara seperti ini. Tidak untuk sekarang at
least. Tapi dia juga tidak mau anak-anak ini menikmati tubuh Rere apalagi
setelah Albie tahu Rere masih perawan. Sungguh sempurna wanita idamannya. Dia
pikir, dengan kecantikan dan gaya hidup yang Rere miliki akan sulit untuk
mempertahankan keperawanannya pada jaman sekarang ini. Tetapi princess-nya itu
benar-benar sempurna. Albie jadi semakin cinta kepadanya. Albie segera sadar
dari lamunannya ketika dia merasa badannya didorong paksa.
“Eh ngapain lo… JANGAN!! LEPASIN
GUE!!” katanya ketika dia dipaksa menghampiri Rere, tangan Albie pun dituntun
paksa untuk menyentuh tubuh Rere. Rere yang tersimpuh hanya bisa melihat Albie
memberontak sambil didorong ke arahnya. Tak lama kemudian dia merasa buah
dadanya sekarang sudah ada di remasan tangan Albie.
Albie merasa perasaannya sekarang ada
di dua tempat. Marah dan bahagia. Dia senang menikmati tubuh Rere walaupun dia
lebih suka dengan cara yang romantis. Tapi disaat yang sama dia benar-benar
marah ketika dia dimanfaatkan keempat orang tersebut untuk menikmati tubuh
gadisnya itu. Tangan Albie terus menempel atas paksaan Sam di dada Rere, Sam
meremas tangannya dari atas dan otomatis juga membuat Albie meremas buah dada
Rere.
Rere mendengar dirinya mengerang
sendiri. Ada perasaan aneh mengalir pada dirinya. Rere merasakan seluruh
dirinya bagaikan terbang ke awang-awang. Tanpa sadar Rere memejamkan matanya
seakan meresapi remasan tangan Albie di buah dadanya. Remasan Albie pun
sekarang berubah menjadi remasan yang sangat halus, berperasaan dan penuh kasih
sayang. Rere membuka matanya dan dia melihat wajah Albie mulai mendekat dengan
wajahnya. Pori-pori kecil di hidung Albie yang mancung sudah terlihat sangat
jelas sekarang.
Albie pun mulai mengecup keningnya.
Rere kembali menutup matanya. Ciuman itu sekarang berpindah turun ke bibirnya.
Rere sekali lagi tanpa sadar membuka bibirnya membiarkan lidah Albie
menari-nari menjilati dinding mulutnya dan menggelitik lidahnya. Remasan kasar
Albie di dadanya tadi sekarang sudah mulai lembut dan halus menjamah seluruh
tubuhnya berpindah kepunggung Rere, mengangkat tubuhnya dan memeluknya dengan
mesra sambil mereka berpagutan terus menerus. Rere sungguh merasa melayang
sekarang, dalam pelukan Albie, dia bisa mencium laki-laki dambaannya itu.
Mungkin Albie sudah tidak sadar atau
sudah mulai terangsang, tetapi Rere merasakan Albie melepas pelukannya. Dengan
terus berciuman, Rere membuka matanya dan melihat Albie juga sedang memjamkan
mata. Namun tangan Albie sekarang tidak memeluknya lagi. Sambil berciuman Rere
melihat Albie membuka bajunya sendiri. Sejurus kemudian Albie sudah tidak
mengenakan apa-apa lagi.
Rere melihat kemaluan Albie yang
sudah tegak keras berdiri. Rere memekik tanpa sadar memandang benda itu,
sungguh besar dan panjang. Namun Albie dengan sambil terus menciumi Rere
kembali memeluk Rere. Kulit mereka sekarang bersentuhan menempel erat seakan
bersatu. Albie mulai menurunkan ciumannya turun ke bawah, leher Rere terus
diciumi seakan dia menganggumi bentuk leher yang putih dan indah itu. Turun ke
bawah, Rere merasa buah dadanya dijilati Albie, sementara tangan Albie terus
menggerayangi seluruh tubuhnya.
Rere mulai mengaktifkan tangannya,
dia sekarang berani memeluk Albie. Meremas-remas dan memainkan rambut Albie
sambil meresapi jilatan Albie yang serasa maut di sekujur tubuhnya. Erangan
Rere membuat Albie semakin naik birahi. Remasan tangan Rere di punggung dan
rambutnya mulai memberanikan Albie membelai dan menyentuh pangkal paha Rere.
“Achh…“ desah Rere tanpa sadar ketika
dirasakan sensasi yang luar biasa terasa di daerah selangkangannya. Albie pun
semakin gencar. Kembali dia menciumi Rere sambil memainkan klitoris Rere.
“Aku sayang banget sama kamu Re…” bisiknya
dengan mesra di kuping Rere.
“Bie… Aku juga sayang sama kamu…”
balas Rere sambil terpejam.
Sekarang Rere merasakan tubuhnya
dibaringkan oleh Albie. Rere tidak menolak. Entah ini karena keadaan atau
ancaman dari keempat orang yang sekarang menonton mereka bergumul, atau memang
hati Rere juga menginginkannya. Albie membuka kaki Rere dan dengan sangat
hati-hati mulai mengarahkan batang kemaluannya ke bibir kemaluan Rere.
Seakan mengharapkan saat-saat seperti
ini terjadi, Rere bersiap diri dengan menggigit bibirnya dan mengkonsentrasikan
seluruh pikirannya di daerah kemaluannya. Seakan menanti saat-saat ini, dia
memandang wajah Albie yang sudah berkeringat. Tatapan Albie seperti menunjukkan
bahwa ini adalah hal yang terbaik untuk saat ini dan bahwa dia memang
sungguh-sungguh menyayanginya dan bahwa dia akan bertenggung jawab dengan
segala konsekuensinya. Rere pun mengerti. sekarang dia merasakan suatu benda
tumpul sedang menempel di pintu kemaluannya. Mencoba mendorong masuk sambil
menekan. Rere pun masih menggigit bibirnya. “Sakit..“ katanya dalam hati ketika
dia merasa sedikit dari benda itu sudah berada dalam dirinya.
Albie pun dengan sangat hati-hati
memasukan kejantanannya ke dalam kemaluan kekasihnya itu sekarang. Sadar bahwa
batangnya sudah masuk setengah, Albie menariknya kembali dan mulai
menggoyang-goyangkan secara perlahan. Dilihatnya Rere yang masih memandangnya.
Tetapi dia tidak menggigit bibirnya lagi. Mulutnya sedikit terbuka dan mendesah
pelan. Albie pun tak kuat lagi untuk tidak menciumnya. Kembali ciuman itu
terjadi dan kali ini dengan penuh nafsu. Albie kembali mendorong batangnya dan tersadar
bahwa semuanya sudah menancap pasti di dalam kemaluan Rere. Merasa seakan tubuh
Rere memijit batang kemaluannya. Dilihatnya Rere yang kembali menggigit bibir,
berkeringat tetapi sangat menggarirahkan. Albie terus melakukan
dorongan-dorongan. Semakin lama dorongan dan pompaan Albie di dalam kemaluan
Rere semakin cepat. Rere pun sudah mendesah dan mengerang dalam tiap tusukan
batang Albie di dalam tubuhnya.
15 menit sudah mereka bergumul dan
menyatu ketika Rere mendengar Albie mendesah panjang. Butir-butir keringat
mereka sudah bercampur menyatu. Albie terus mengerang sambil menggenjot
kekasihnya. “Aku sayang banget sama kamu Re…Ughh…“ Itulah yang dikatakan Albie
sambil berejakulasi di dalam rahim Rere.
Rere merasakan sesuatu yang hangat
menyemprot rahimnya dan Albie semakin kuat memeluknya. Seakan waktu berhenti,
Albie tetap memeluk Rere sekuat-kuatnya tanpa mencabut benda pusakanya dari
dalam tubuh Rere, seakan dia tidak akan melepaskannya lagi. Tidak ada gerakan
sama sekali kecuali pelukan dan nafas mereka yang terang-engah. Entah kenapa
Rere baru tersadar dan air matanya kembali menghiasi wajahnya yang sekarang
terlihat sayu dan lelah. Albie memandangnya, diakuinya Rere memang sangat
cantik walaupun keringat dan sedikit darah menghiasi wajahnya. Sambil terus
memeluknya, Albie menyeka air mata, keringat dan darah di wajah Rere.
“Aku akan tanggung jawab Re…Swear…
please kamu jangan nangis… semuanya akan baik-baik saja…“ Albie menenangkan
sambil mengusap wajah Rere. Albie bisa melihat dengan jelas butir-butir air
mata Rere yang terus mengalir di pipinya.
Rere menangis dalam diam. Ekspresinya
datar walaupun air mata tak kuat dibendungnya, terus tumpah mengaliri pipinya
yang mulus. Dia terus menatap Albie yang tepat di atasnya, memeluk kuat dirinya
dengan batang kemaluan masih tertancap ditubuhnya. Tak disangka dia sudah
kehilangan keperawanannya, tak disangka dia menyerahkan keperawanannya kepada
Albie atau Albie yang merenggut keperawanannya yang selama ini dijaganya?
Keperawanan yang dijaga yang suatu saat nanti akan diberikan kepada orang yang
dicintainya. Tetapi kepada siapa keperawanan ini akan diberikan? Rere berpikir
dalam hati. Suaminya nanti? Siapa?
Dirasakannya Albie mengendurkan
pelukannya dan dengan hati-hati bangkit berdiri. Mencabut batang kemaluannya
yang sudah mengecil. Rere sekali lagi merasakan sensasi yang unik pada saat
batang itu keluar dari tubuhnya. Sesuatu mengalir keluar dari dalam
kemaluannya. Dilihatnya cairan kental putih bercampur darah keluar dari
kemaluannya. Rere sadar itu darah perawannya. Albie pun melihat dan langsung
kembali memeluk Rere sambil menciumi wajahnya.
“Aku cinta banget sama kamu… Aku
sayang kamu… Re, aku akan selalu bersama kamu…” Rere tidak tahu harus membalas
dengan kata-kata apa. Dia bingung bercampur sedih, marah, senang dan bahagia.
Tetapi apa yang harus dikatakannya pada Albie.
“Aku capek Bie… Aku mau pulang… Kaki
ku sakit. Badanku rasanya hancur… aku mau pulang Bie… Aku capek…!“ Seru Rere
sambil menangis dipelukan Albie. Memang ini hari yang panjang buat dirinya.
“Iya sayang… Ayo kita pulang… kamu
harus istirahat…enggak deh, kamu harus ke dokter dulu… aku cari dulu baju buat
kamu“ Albie menenangkan Rere. Tetapi ketika Albie berbalik kebelakang untuk
mencari seragam Rere tiba-tiba pukulan keras mengenai tengkuk Albie. Sekejap
kemudian Albie jatuh tak tersadarkan diri.
“Albie…!” teriak Rere.
“Enak aja lo… udah make mau langsung
pulang!!” Rupanya Sam memukul Albie dari belakangnya. Rere sama sekali lupa
dengan mereka berempat. Tadinya dia pikir dia sudah bisa pulang dan istirahat.
Namun rupanya mereka berempat masih belum selesai dengannya. Dilihatnya keempat
kawanan tadi masih tetap berada diruang itu. Rere juga kembali tersadar bahwa
persetubuhannya tadi dengan Albie ditonton mereka secara gratis.
Ben kembali berjalan memposisikan
dirinya di depan teman-temannya. Rere beranggapan mungkin dia adalah ketua dari
geng tersebut.
“Payah deh cowo kamu nih… masak abis
selesai ngewe langsung pulang… SMP banget sih!“ gerutu Ben sambil menjentikkan
jarinya memerintahkan teman-temannya untuk menggeser tubuh Albie. Mereka pun
langsung membopong tubuh Albie dan diletakan di sofa kecil di pojokan yang tadi
di tumpuk Ben.
“Nah, say… sekarang giliran kita-kita
ya…“ seru Ben sambil kembali menjamah tubuh telanjang Rere.
“Tolong…jangan… saya capek… saya udah
gak kuat… sakit…sakit…Agghh…mmpphf…” begitulah kata-kata yang keluar dari mulut
Rere sebelum dibekam oleh ciuman dari bibir Ben.
Dengan ganas Ben mecium bibir Rere.
Melahap seperti orang yang haus akan ciuman. Sambil meremas buah dada Rere yang
menggantung indah didadanya, Ben terus menggarap Rere tanpa ampun. Dalam
sekejap. Keempat orang itu sudah tidak mengenakan apa-apa lagi. Keempatnya
langsung mengelilingi tubuh Rere yang masih telanjang.
Rere pun tak bisa mengelak ketika tangan-tangan
nakal menggerayangi setiap sudut tubuhnya. Seakan sudah diatur, Sam langsung
menciumi dan menjilati buah dada Rere, Dave pun langsung mendarat di leher dan
tengkuk Rere, memberIka n tanda merah tua berkat cupangannya nafsu di leher
Rere. Sementara Zack membilas kemaluan Rere dari sperma Albie dan darah dengan
tissue basah yang entah dari mana didapatnya dan langsung menjilatinya dengan
nafsu.
Rere merasa tidak kuat dengan
perlakuan mereka, dia terus saja mendesah dan mengerang oleh perlakuan mereka,
entah karena rangsangan atau siksaan. Tetapi dia tidak bisa meneruskan
erangannya ketika dengan tiba-tiba Ben memasukan batang kejantanannya ke mulut
Rere.
“hisap dong sayang…“ katanya sambil
menjambak rambut Rere dan membuat kepala Rere maju mundur dalam
selangkangannya. Sekilas Rere merasa ingin muntah dan jijik. Dia tidak bisa
bernafas. Serasa mulutnya yang disumpal oleh benda besar panjang, kenyal tetapi
keras itu juga menutup hidungnya.
Rere berusaha mendorong selangkangan
Ben dari wajahnya. Tetapi jambakan pada rambutnya yang kuat membuatnya tak
kuasa untuk memaju-mundurkan wajahnya dengan batang kemaluan Ben di mulutnya.
Dalam menit pertama Rere merasa hal ini sangat menyiksa dirinya, tetapi
jilatan-jilatan dari ketiga yang lain membuatnya serasa terbang ke awang-awang.
Dia pun sekarang tidak melawan ketika Ben menuntun kepalanya bergerak untuk
memberikan pijatan pada batang yang ada di dalam mulutnya. Dan Rere langsung
mengalihkan perhatiannya ke bawah ketika Rere merasakan sesuatu berusaha masuk
ke dalam kemaluannya.
Rupanya Zack sudah siap dengan
penetrasinya. Rere tahu dia tidak akan bisa lolos dari itu, maka dia berusaha
untuk menikmatinya mengingat semakin dia melawan maka akan semakin lama
penyiksaan ini. Rere berusaha untuk mengimbangi setiap genjotan Zack di dalam
kemaluannya sambil terus menghisap batang kemaluan Ben di mulutnya. Sementara
leher dan dadanya di remas dan dicium bergantian oleh Dave dan Sam.
Lima menit sudah ketika Zack
mengeluarkan spermanya yang langsung menyemprot ke dalam rahim Rere. Langsung
saja Dave menggantikan posisinya tanpa harus membilas kemaluan Rere sampai 7
menit berakhir ketika dia berejakulasi di dalamnya yang kemudian digantikan
oleh Sam yang langsung menggenjot dengan nafsunya. Sementara Ben semakin mempercepat
pemerkosaannya di mulut Rere dan mendorong kepala perempuan di selangkangannya
dengan cepat sambil menggoyang pantatnya maju mundur. Rere merasa ujung batang
Ben sudah ada di kerongkongannya. Mata Rere kembali berair saking tidak bisa
bernafas dengan teratur. Lalu tak lama kemudian Ben mengeluarkan sperma di
dalam mulut Rere yang langsung meluncur lancar ke tenggorokan Rere. Rere
langsung terbatuk tetapi Ben segera mengatup mulutnya.
“Ditelan dong sayang… jangan di
buang, mubajir…” katanya sambil tersenyum. Rere pun dengan terpaksa menelan
sperma kental itu. Dia berusaha tidak merasakan rasa cairan yang mengalir licin
ke tenggorokannya, tetapi air matanya kembali mengalir. Di bawah sana Rere
mendengar Sam mengerang panjang sambil menancapkan batangnya dalam-dalam di
liang sanggama Rere. Rere tahu dia dan kedua orang sebelumnya sudah
berejakulasi di dalam liang kemaluannya.
Bagi Rere sepertinya waktu berjalan
sungguh lambat hari ini. Ketiga orang yang bersanggama di dalam kemaluannya
tadi sekarang masih mencoba untuk meneguk manisnya tubuh Rere dengan berbagai
macam posisi. Sementara Ben masih dengan nafsu tinggi mencumbunya tanpa
sedikitpun menyentuh kemaluannya. Rere tidak mengerti kenapa Ben tidak
menyentuh daerah vitalnya sama sekali, yang pasti Rere sudah merasakan lelah
yang teramat sangat, luar biasa sakit menyiksa sekujur tubuhnya dan seakan
dunia sedang berputar-putar di sekelilingnya, matanya berat, kepalanya sakit
dan tubuhnya sangat berat sampai akhirnya Rere tergolek pingsan tak sadarkan
diri.
No comments:
Post a Comment